Mengapa pesta Kahiyang lebih pas dengan makna “royal” KBBI? Karena, antara lain, Pak Jokowi bukan dari “royal family” (keluarga kerajaan) seperti “royal family” di Inggris, Belgia, Belanda, Jepang, Jogjakarta atau, bahkan, di Solo sendiri. Kalau keluarga presiden bisa kita sepakati sebagai “royal family”, tentu upacara di Solo barusan boleh saja disebut “Royal Wedding”. Tetapi, sekali lagi, keluarga presiden tak mungkin disebut “royal family”.
Preside Jokowi boleh dikatakan sangat “royal” mengeluarkan uang untuk upacara dan acara pernikahan putri beliau. Dan memang begitu kenyataannya. Kalau ditanya apakah salah Presiden menghamburkan uang untuk perkawinan putri beliau, jawabannya “tidak” –dari sudut pandang tertentu. Itu hak beliau. Tidak masalah.
Kita hanya ingin menjelaskan bahwa ada “Royal Wedding” yang sangat berbeda dengan “Perkawinan Royal”. Yang pertama adalah prosesi perkawinan keluarga kerajaan, sedangkan yang kedua adalah prosesi perkawinan keluarga yang banyak duit. Itu saja!
Apakah ada aspek lain? Wallahu a’lam. Ada yang mempersoalkan “kemewahan” prosesi perkawinan itu. Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, berpendapat seharusnya Presiden Jokowi melaksanakannya secara sederhana saja. Fahri menyebutkan adanya anjuran resmi pemerintah agar acara perkawinan anak-anak pejabat tidak berlebihan. Jokowi sudah menjawab kritik Fahri dengan mengatakan bahwa semua penyediaan jasa untuk perkawinan putrinya berasal dari kalangan sendiri, usaha (bisnis) keluarga Jokowi sendiri.