Oleh: Falah Abu Ghuddah*
Kemunduran Islam sudah sangat akut. Hampir di seluruh aspek dan lini Islam seakan tak punya taring. Teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, hingga ke sendi-sendi moral dan ibadah agama suci ini banyak mengalami kemunduran. Faktor intim dari sekian bentuk kemerosotan ini tak lepas dari mainstream-mainstream dan doktrin serta berbagai konspirasi yang di lakukan para musuh Islam walau ada beberapa faktor yang berasal dari kaum Muslim sendiri. Hal ini memang terlihat subjektif namun ia dapat kita rasakan bersama. Hampir semua kendali dan alih dunia dimiliki dan ditarik oleh non-Islam, hingga memunculkan berbagai isu-isu anti Islam dan Islamofobia selalu digencarkan di berbagai media seluruh dunia.
Tulisan ini tak bertujuan untuk membeberkan fakta-fakta yang berada di balik seluruh konspirasi besar ini namun hanya ingin menyadarkan bahwa kita sedang dijajah oleh para neo-kompeni walau tidak nampak dalam bentuk nyata. Neo-kolonial ini lebih sering kita dengar dengan ungkapan perang pemikiran atau Ghazwul Fikri. Minimal dengan kesadaran terhadap adanya musuh membuat kita semakin peka terhadap apa yang sebenarnya terjadi dan terbebas dari intrik terselubung ini atau minimal kita mampu mengantisipasinya.
Secara singkat perang pemikiran dapat diartikan berupa berbagai upaya yang dilakukan oleh satu bangsa untuk menguasai bangsa lain. Namun secara lebih spesifik perang ini lebih mengarah pada berbagai upaya yang dilakukan para musuh Islam untuk menguasainya.
Perang Pemikiran ini lebih berbahaya ketimbang perang prajurit atau tentara (al-ghazw al-‘askarī), karena perang pemikiran berjalan secara “rahasia”. Sehingga, bangsa yang diperangi tidak merasa bahkan tidak siap untuk membendungnya. Pada gilirannya, bangsa yang diperangi menderita sakit pemikiran dan mencintai dan membenci apa yang disukai dan dibenci oleh musuhnya.
Dalam salah satu tulisannya Qosim Nurseha (Penulis buku Salah Paham tentang Islam: Dialog Teologis Muslim-Kristen di Dunia Maya) mengutip opini beberapa tokoh Islam. “Perang pemikiran”, menurut Alī ‘Abd al-Ḥalīm Maḥmūd dalam “al-Ghazw al-Fikrī wa al-Firaq al-Mu‘ādiyah li al-Islām” (al-Riyāḍ, 1981) memiliki banyak otot untuk memangsa bangsa-bangsa lain dan menghilangkan identitasnya. Secara umum, perang pemikiran ini biasa terjadi terhadap bangsa-bangsa berkembang (al-umam al-nāmiyah) dan secara khusus terhadap umat Islam.
Menurut Khādim Ḥusain dalam “al-Ghazw al-Fikrī Ta‘rīfuhu wa Ahdāfuhu”, kalangan non-Muslim sangat terbiasa melakukan praktik ini. Tujuannya mengajak umat lain untuk “menghilangkan” karakteristik kehidupan islami, mengalihkan umat Islam agar tidak berpegang kepada akidah dan etika Islam. Biasanya, sasaran “perang pemikiran” adalah fondasi Islam, yaitu: akidah, ekonomi, sistem pemerintahan, sistem pendidikan bahkan penerangan.
Melalui “perang pemikiran”, seseorang tak harus berganti agama, misalnya dari Islam menjadi Kristen namun tanpa seseorang akan bisa hilang karakteristik kehidupan islaminya. Penjelasan di atas mengingatkan kita pada pandangan sejarawan, sosiolog dan antropolog Muslim klasik, Ibn Khaldūn (w. 808 H). Dalam kitab al-Muqaddimah ia menyatakan bahwa bangsa pecundang selalu mengikuti bangsa pemenang, baik dalam: syiar (motto hidup), pakaian, keyakinan, tindak-tanduk bahkan kebiasaannya. Sikap meniru itu, kata Ibn Khaldūn, disebut al-iqtidā’.
Sebelum membahas lebih jauh, ada baiknya kita kaji beberapa fase kelahiran perang pemikiran ini. Secara garis besar Ali Muhammad Jarisyah dan Muhammad Syarif -dalam bukunya Asalib al-ghazw al-fikri lil al-‘alam al-slami– membagi fase perang pemikiran ini dalam tiga tahapan; pra runtuhnya khilafah Uthsmaniyah (khilafah Islam terakhir), ketika runtuhnya khilafah dan setelah runtuhnya khilafah.
Fase pertama, pra runtuhnya Khilafah Uthmaniyah. Pada fase ini para musuh Islam membaginya dalam empat proyek besar; perang salib, gerakan orintalisme (al-istisyroq), misionaris atau kristenisasi (at-tabsyir) dan pemecahan Khilafah Usthmaniyah. Pada proyek pertama ternyata kaum non-muslim mengalami kekalahan telak. Perang yang disponsori oleh para pemuka agama serta dimotori dan didukung para pemikir besar tak membuahkan hasil. Umat Islam yang ketika itu sudah mulai terpecah-pecah dan terkoyak-koyak kembali bangkit dan bersinergi untuk membela agama mereka. Seruan jihad dan mati syahid ternyata lebih dahsyat dari kobaran semangat pendeta-pendeta dan tokoh Yahudi. Peperangan ini juga mencatat beberapa tokoh penting yang menorehkan namanya dengan tinta emas dalam sejarah Islam sebut saja Nurudin Mahmud Zinki at-Turki dan Solahuddin al-Ayyubi al-Kurdi.
Setelah mengalami kekalahan telak dalam perang yang berlansung ratusan tahun ini akhirnya mereka mendapat kongklusi bahwa Islam tidak akan dapat ditaklukan kecuali setelah meraih pikiran, akidah dan otak mereka. Akhirnya mereka mencetuskan dua proyek besar lainnya berupa orientalisme dan kristenisasi (al-istisyroq wa at-tabsyir).
Selain mendapati kekalahan telak ternyata perang salib juga membuahkan sebuah produk pemikiran baru berupa orientalisme dimana para sekelompok orang barat mulai mengkaji dan menulis perihal ketimuran dan Islam, namun yang disayangkan adalah bahwa sikap fanatisme mereka yang tinggi terkadang membuat tidak objektif dalam menilai Islam hingga menghilangkan nilai-nilai keilmiyahan suatu ilmu, berdampak pada pencorengan dan pencitraan yang buruk terhadap Islam.
Banyak peneliti menilai bahwa orientalisme adalah buah karya koloni dan kristenisasi dimana para penjajah berusaha agar Islam tak dapat memperlebar wilayah serta membangun kekuatan untuk meruntuhkan kekuasaan kompeni, sedangkan kristenisasi bertujuan untuk menghadang laju Islam supaya tak menjadi rival Kristen.
Proyek orientalisme terus diluncurkan seiring bergulirya waktu, mereka terus membenahi dan memodifikasi kinerja hingga awal abad 13 Masehi mereka merubah pola kerja mereka dengan mendirikan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang mempelajari bahasa, kultur dan hal-hal ketimuran. Dengan bertopeng reseach ilmiyah, mereka mengusung objektifitas keilmuan untuk menarik para pelajar timur belajar di sana dengan beasiswa penuh, tak jarang sepulang dari sana para pelajar inilah yang menjadi mercusuar dan terompet mereka dengan membawa paham dan misi muslihat ini. Selain misi orientalis mereka juga menyebarkan misi kristenisasi dimana mereka membangun sekolah dengan metode barat yang memisahkan agama dengan ilmu dan negara, membuat majalah, buletin, seminar dan simposium untuk menggoalkan hajat ini.
Proyek meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah terus digulirkan pada fase awal ini. Setelah “melaunchingkan” dua program besar (orientalisme dan kristenisasi) Islam kembali dipecah belah mulai dari sisi geografis hingga kesatuan. Dua kekuatan besar saat itu –Inggris dan Prancis- mulai mensekat-sekat daulah Islam menjadi negara-negara. Meraka juga memecah persatuan umat dengan politik belah bambu dimana pohon tak dapat dirobohkan kecuali oleh bagian pohon tersebut (kapak kayu). Dengan asumsi ini mereka menggandeng Mustafa Kamal at-Tatruk dengan partainya (hizbu al-ittihad wa at-taraqqi( untuk melengserkan Sultan Abdul Majid II dari kekuasaannya. Dari sinilah perang otak memasuki fase ke dua, saat-saat keruntuhan Khilafah Islamiyah.
Tak kurang dari tiga strategi telah mereka siapkan ketika melewati fase ini diantaranya menyebarkan faham sekularisme (memisahkan agama dan negara), nasionalisme dan separatisme yang menyebabkan fanatik buta hingga berujung pada misi peruntuhan khilafah. Setelah diserang dari beberapa arah –politik, ekonomi, akidah hingga agama- akhirnya mereka dapat merayakan keruntuhan Khilafah Islamiyah pada 1924 M.
Tak puas sampai di sana, mereka juga mengagendakan beberapa program pasca runtuhnya khilafah atau fase ketiga. Pada fase inilah gerakan perang pemikiran dengan dua sayapnya (orientalisme dan kristenisasi atau misionaris) serta berbagai cara semakin digencarkan belum ditambah dengan proyek-proyek lain yang terdapat dalam protokolat zionis.
Muhammad Mahmud As-Showwaf dalam bukunya Al-Mukhothothot al-isti’miryah li mukafahati al-Islam menuliskan beberapa alternative dalam “perang era modern” ini, diantaranya membuka sekolah-sekolah asing dengan metode belajar yang sekuler (memisahkan agama dengan ilmu dan hal lain), menyebarkan majalah, video dan film-film “hot”, menguasai ekonomi dan pasar, memarginalkan turats serta mengalihkan pada metode dan konsep barat, menggemborkan emansipasi wanita, mempopulerkan bahasa tidak resmi dan arabisasi (‘ammiyah wa musta’robah) dan lain-lain dimana mereka tak memberikan satu celahpun kepada Islam untuk bangkit dan berjaya kembali.
Melihat kemunduran dan keterbelakangan umat selama ini banyak para pemikir dan pejuang Muslim yang berusaha untuk mengembalikan Islam pada masa-masa emasnya. Walau demikian tak jarang terjadi pro dan kontra antara gerakan dan jama’ah yang satu dengan lainnya. Perbedaan ini menurut hemat kamikembali pada pandangan dasar setiap gerakan, pembenahan apa yang harus didahulukan dan menjadi prioritas; akidah, politik, hati dan jiwa, tingkah laku atau hal lainya. Maka di bawah ini kami uraikan secara sekilas beberapa gerakan Islam (haraqah Islamiah) dengan tidak bermaksud mencari kelemahan dari masing-masing gerakan namun agar kita dapat lebih mengenal dan memahami usaha dan jerih payah setiap gerakan ini.
Secara umum, ada lima pergerakan Islam yang masih eksis keberadaannya dan menyebar di saentero dunia. Beberapa gerakan itu antara lain Jamaah Tabligh, Salafi, Shufi, Hizbut Tahrir dan Ikhwanul Muslimin. Pertama, Jamaah Tabligh. Dalam menjalankan aktivitas dakwahnya jamaah yang didirikan oleh Syeikh Muhammad Ilyas ini menggunakan metode nasihat dan bimbingan. Jamaah ini memiliki beberapa poin yang sering mereka dakwahkan dalam setiap perkumpulan dan pertemuannya (bayan) diantarnya; kalimah toyyibah, sholat khusyu’, ilmu dan zikir, ikrom (menghormati) muslim dan ikhlas. Mereka juga mewajibkan pengikutnya agar meluangkan waktu untuk melakukan tugas dan kewajiban dakwah. Satu jam dalam satu minggu, sehari dalam sebulan atau sebulan dalam setahun atau dalam waktu yang mereka mampu. Kesempatan inilah yang dimanfaatkan untuk berdakwah dan menyeru manusia kepada Allah di seluruh penjuru dunia dan dikenal dengan khuruj atau jaulah.
Kedua, Jamaah Salafiyah. Arti kata salafiyah sendiri adalah kembali kepada pemahaman Islam yang berasal dari dua sumber, Al-Quran dan Sunah Rasulullah SAW, sebagaimana yang dipahami ulama salaf. Adapun yang dimaksud dengan kaum salaf adalah era tiga abad pertama yang digambarkan oleh Rasululllah SAW sebagai generasi terbaik. Salafiyyun, meyakini bahwa penyebab kehinaan kaum muslimin adalah perbedaan dalam memahami ajaran Islam, fanatik, dan jumud terhadap pemikiran dan mazhab yang beragam. Mereka juga meyakini bahwa sumber masalah umat Islam adalah akidah mereka yang sudah rusak. Maka misi terbesar dari jamaah ini adalah memurnikan akidah dan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan oleh para salaf as-soleh. Pemikiran dan pergerakan jamaah ini merujuk pada Imam Ibnu Taimiyah dan Muhammad Abdul Wahab.
Ketiga, Jamaah Shufiyah. Secara umum, tujuan yang hendak dicapai pada jamaah ini adalah batin setiap individu dan pembersihan terhadap jiwanya. Jamaah ini menekankan pada ibadah-ibadah ritual dan membangun pribadi muslim. Sesuai dengan pepatah As-Solah qobla al-islah (perbaiki diri dulu baru memperbaiki orang lain). Kesalahan dan hal negatif yang dinisbahkan pada tasawwuf dan jamaah ini sering terjadi pada oknum saja bukan esensi dan hakihat jamaah tersebut. Keempat, Hizbut Tahrir. Lahir di awal 1950-an. Syeikh Taqiyudin An-Nabhani adalah pendirinya. Anggota Pengadilan Banding Agama di Al-Quds dan alumni Al-Azhar ini telah menerbitkan sebuah buku pada April 1950 berjudul, Risalatul Arab, karakter nasionalis beliau jelas tergambar dalam buku tersebut.
Menurut DR. Shadiq Amin, hizb ini beranggapan bahwa tugas yang mereka hadapi adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap berbagai pemikiran Islam. Itu dapat dilakukan melalui amal tsaqafi (pengayaan wawasan pengetahuan) dan amal siyasi (kerja politik). Dan itu semua bertujuan untuk mengembalikan tegaknya khilafah Islam.
Kelima, Ikhwanul Muslimin. Gerakan Ihkwan sejak awal menyatakan bahwa gerakan mereka adalah gerakan yang integral dan mencakup semua bentuk aktifitas. Al-Ikhwan Al-Muslimun didirikan pertama kali di Ismai’liyyah, sebuah wilayah di Mesir oleh Hasan Al-Banna pada tahun 1928 M. Mulai dari ceramah beliau di kedai-kedai kopi hingga menjadi sebuah gerakan yang besar dan memiliki cabang di berbagai pelosok Mesir bahkan ke berbagai negara Arab lainnya. Dari segi level dan usia kematangan gerakan, Ikhwan termasuk gerakan Islam yang paling besar dan senior. Mereka memilik banyak kekuatan sumber daya manusia dari ulama, tentara, pejabat, ilmuwan, mahasiswa, pedangan, petani, nelayan dan para pemuda.
Salah satu kelebihan gerakan ini adalah kemampuan mereka merekrut pendukung dan kepiawaian dalam membentuk sturktur yang solid. Sehingga mampu menghimpun sekian banyak potensi umat menjadi sebuah kekuatan raksasa yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Dalam banyak literatur, mereka menerapkan sistem usroh yang berjalan secara kontinu untuk semua anggota mereka.
Disamping itu, relatif banyak jumlah gerakan dakwah islamiah dan aliran-aliran haraqah lain yang mestinya membuat kita lebih cerdas dalam memahami Islam. Lalu, sikap apa yang mestinya ditunjukkan oleh masing-masing haraqah atau jamaah serta umat Islam yang belum memutuskan untuk bergabung dan berkomitmen dalam sebuah jamaah. Ada baiknya kita mengutamakan persamaan dan menjauhi perbedaan apalagi perbedaan yang terjadi hanya berkisar pada furu’iyah bukan ushuli. Sudah semestinya masing-masing haraqah islamiah saling menghargai tanpa menyibukkan diri untuk mencari celah perbedaan dan berjuang tulus dan ikhlas untuk mengibarkan bendera Islam bukan karena rasa etnosentris haraqah.
Persoalannya sekarang adalah sebagian dari haraqah islamiah ada yang melenceng dari apa yang semestinya dilakukan oleh sebuah haraqah islamiah yakni menyebarkan nilai-nilai yang ada di dalam Islam itu sendiri. Timbulnya perpecahan tak lain tak bukan karena sebagian jamaah yang membesarkan persamaan. Padahal, jika dilihat secara mendalam, titik kesamaannya lebih banyak, terutama dari sisi tujuan masing-masing secara umum.
Menurut Dr. Shadiq Amin dalam bukunya “Mencari Format Gerakan Dakwah Ideal”, bila dilihat secara teliti, sebenarnya, semua jamaah umat Islam yang ada mempunyai titik kesamaan; (a) akidahnya sama, yakni beriman kepada Allah dan seluruh nabi dengan tanpa sedikit pun dikurangi, (b) semuanya berjuang untuk mengajarkan Islam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga Islam benar-benar menjadi pedoman hidup, baik secara mikro maupun makro, (c) referensinya sama, yakni Al-Quran dan hadis dan sejarah para Khulafa ar-Rasyidin, (d) tantangan yang dihadapi sama: musuh-musuh Allah dan pemikirannya yang selalu menghambat umat Islam dalam berdakwah. Kalau ternyata secara prinsip sama, sementara hanya dari segi nama dan cara berdakwah, sungguh, tidak ada alasan untuk saling bermusuhan.
Maka kaidah al-jam’u baina syaiaini khoirun min ihmali ahadihima (mengumpulkan dua hal lebih baik daripada membuang salah satunya) sangat tepat untuk menyatukan umat. Apalagi pada zaman yang sudah sangat terkotak-kotak ini. Toh, gelas yang kosong masih menyimpan air yang lebih banyak dibanding ruang kosong yang ada di dalamnya, persamaan di antara kita lebih banyak mengapa selalu melihat titik perbedaan, kelebihan yang ada lebih dominan dari kekurangannya. Mudah-mudahan Allah selalu menguatkan dan menyatukan barisan kita menuju rido-Nya. Qul kullun ya’malu ‘ala syakilatih wa robbukum Huwa ‘alamu biman huwa ahda sabila (setiap kita berbuat sesuai modelnya sedangkan Allah jua lah yang lebih tahu siapa diatara kita yang mendapat petunjuk-Nya). Teruslah berusaha dan berbuat untuk agama kita mudah-mudahan hidayah Allah selalu mengiringi setiap langkah perjalanan kita. Wallahu ‘alam bi showab.
Istana Cinta-Lembah Juang Kairo, 31-03-2013