5) Faktor pemimpin yang “erraticl” (gelisah/kurang bertanggung jawab) dan “gemar perang” juga pemicu perang. SBY berdoa pemimpin Iran dan Trump memilih jalan diplomasi. SBY mengatakan Iran terhina dengan pembunuhan Jenderal besarnya, namun menurutnya Amerika juga pernah terhina dengan kasus penyanderaan 52 warga Amerika selama 444 hari di Taheran, tahun 1979-1981.
(6). Dunia saat ini berada pada kondisi panas. Gelombang Nasionalisme, populisme, rasisme dan radikalisme menguat. Tren sejarah begitu, tidak dapat menyalahkan sebuah negara. Nasionalisme negara-negara ini mengurangi apa yang dialami dan dirasakan SBY di masa kepresidenannya, yakni dulu semua serba senang dialog dan diplomasi, sekarang tidak.
7) Di luar 3 faktor: miskalkulasi, pemimpin eratik, dan nasionalisme ekstrim, SBY melihat baik Trump maupun Ayatollah Khamenei, menyadari beban yang terlalu berat apabila mereka menyatakan perang, baik dampak pada ratusan juta rakyat mereka maupun pada kawasan Timur Tengah. SBY yakin mereka akan rasional dan “bermoral”. Sangat mungkin ketegangan yang ada berujung pada “great deal”, sebuah kesepakatan besar strategis dan adil, sebuah “take and give”.
Tiga Catatan Kritis
1. 3 Trillion Dollar War
SBY sebagai doktor ekonomi politik pedesaan melupakan kajian penting politik ekonomi, mengapa Trump harus membunuh Jenderal Qassem Soleimani di Irak?
Menurut Professor Stiglitz (dan Linda Bilmes) dalam bukunya “The Three Trillion Dollar War”, 2008, harga perang Irak itu senilai 3 triliun dolar. Penggulingan Saddam Hussein dan perebutan Irak dalam kontrol Amerika sangat mahal. Bahkan, jika pengkritik buku Stiglitz tersebut memperkirakan hanya sekitar 1-2 triliun dolar. Jika dikumpulkan semua uang para taipan Indonesia, tidak sanggup membiayai perang Irak itu. Bahkan jika ditambahkan semua PDB (GDP) kita untuk itu.
Sebagai mantan menteri energi, SBY sangatlah paham siapa-siapa bandar perang Amerika di Irak itu. Bagimana penguasaan ladang-ladang minyak dan gas bumi. Membangun ISIS agar menguasai ladang-ladang minyak bukan hanya di Irak, tapi juga ke Suriah. Bagaimana “Food for Oil Policy” di masa krisis perang untuk membiayai perang.
Dengan digulingkannya Saddam Hussein yang memimpin dengan mayoritas Islam Sunni, digantikan dengan rezim-rezim selanjutnya yang dominan Syiah, maka penetrasi Iran ke Irak membesar. Trump melihat ini sebagai ancaman besar. Jika Trump kehilangan kepercayaan dari bandar-bandar minyak, yang umumnya pendukung setia partai Republik, maka nasib Trump untuk periode ke dua akan hilang.
2. Imperium
Perang besar bukan hanya soal 3 faktor yang disebut SBY, yakni miskalkulasi, pemimpin erratic dan nasionalisme ekstrem. Perang karena sebuah bangsa dan pemimpinnya memang ingin membangun imperium. Imperium Romawi, Imperium Kristen Romawi, Kalifah Islam, Kolonialisme Barat, dan semangat OBOR (Belt and Road Initiative) RRC saat ini adalah contoh-contoh di mana kekuasaan itu bersifat yang besar menguasai yang lemah.
Kekuasaan Amerika di Timur Tengah sudah berlangsung puluhan tahun menggantikan sekutunya, Eropa pasca perang dunia kedua. Keributan-keributan di Timur Tengah ekskalasinya selalu dalam kontrol Amerika untuk mengatur energi dunia.
Namun, belakangan ini Amerika kesulitan karena biaya kontrol kekuasaan di Timur Tengah lebih mahal dari yang seharusnya dia keluarkan. Beberapa tahun lalu, Trump bertengkar dengan para pemimpin Eropa dalam pertemuan NATO, di mana Trump meminta iuran pengamanan dunia yang dibebankan kepada anggota-anggota NATO harus dinaikkan.