Penyesalan Sang Presiden Pasca Periode Diperpanjang, Akankah Berulang?

Perlu diketahui , pada tahun 1980an itu,  bisnis anak-anak Soeharto makin menggurita ke semua sektor termasuk ikut campur urusan pengadaan alat utama sistem senjata ABRI. Namun beberapa kali Benny menolaknya. Keresahan ini juga dirasakan oleh Ali Moertopo yang saat itu menjabat Menteri Penerangan Kabinet Pembangunan III.

Pada zaman Orba, selain ada orang orang yang menjadi pengingat, adapula orang yang menjadi “penjilat” yang getol mendorong dorong penguasa Orba untuk terus berkuasa.Adapun  tokoh yang begitu terkenal dekat dengan penguasa Orba itu Harmoko namanya. Harmoko adalah ahli komunikasi massa dan cukup kreatif dalam mengemban tugas penyebaran informasi dari pemerintah yang saat itu berkuasa.

Pada masa puncak kekuasaan Soeharto pada akhir 1980-an hingga 1990-an, Harmoko tampil sebagai influencer-in-chief (saat ini mungkin semacam buzzer bagi penguasa). Dia terampil menjaga citra Orba dan membuat Soeharto tampak sebagai pemimpin besar yang diinginkan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Misalnya, pada suatu kesempatan di Aceh pada 1985, seorang mahasiswa tiba-tiba melontarkan pertanyaan, “Apakah Pak Harto ingin jadi Presiden seumur hidup?” Harmoko, sebagaimana tercatat di memoarnya, dengan tangkas menjawab, “Pak Harto adalah pemimpin yang menjunjung tinggi konstitusi. Tidak terbetik sedikitpun dalam hati sanubari beliau untuk menjadi Presiden seumur hidup. Bahkan waktu beliau diangkat menjadi Presiden, beliau tidak minta-minta.”

Di mata Harmoko, Soeharto bukanlah diktator, melainkan “Bapak” yang senantiasa memberikan bimbingan kepada para pembantu atau bawahannya. Diakuinya, Soeharto adalah pemimpin yang terbuka, sabar, dan lemah lembut perangainya. Pada 1993, Harmoko terpilih sebagai Ketua Umum Golkar,  orang sipil pertama yang jadi orang nomor satu di lembaga berlambang beringin itu karena biasanya di isi oleh kalangan tentara. Sebelum Harmoko, posisi Ketua Golkar selalu diisi oleh para jenderal kepercayaan daripada Soeharto.

Dimasa Orba Harmoko sempat menduduki jabatan strategis sebagai Menteri Penerangan Republik Indonesia. Pada tahun 1997, terjadi peristiwa yang cukup “istimewa” dalam hubungan Soeharto dan Harmoko. Kala itu, Soeharto tiba-tiba menggesernya menjadi Menteri Negara Urusan Khusus. Padahal, jabatan Menteri Penerangan yang dia emban sementinya baru berakhir pada 1998.

“Sebagai Menteri Urusan Khusus, Harmoko dapat dikatakan disingkirkan dari kekuasaan, sebab tugas utama Menteri Urusan Khusus tersebut memberikan penerangan kepada calon anggota DPR,” tulis Akbar Tanjung dalam The Golkar Way (2007, hlm. 82).

Tapi, jabatan tersebut tak lama diemban Harmoko karena sejak 1 Oktober 1997, dia terpilih menjadi Ketua DPR/MPR. Di kala gerakan Reformasi tengah menghebat, Harmoko dipercaya Soeharto untuk mencari tahu apakah rakyat masih menginginkannya menjadi presiden untuk periode berikutnya. Ini adalah tugas sulit dari Soeharto yang suka dengan kalimat bersayap yang mengandung tafsiran berbeda beda.

Dengan sigap Harmoko menjalankan tugas tersebut untuk menjaring aspirasi rakyat sesuai keinginan penguasa Orba. Ia kemudian menyampaikan kepada Soeharto bahwa hasilnya bersafari keliling Indonesia menunjukkan rakyat Indonesia masih menghendaki Pak Harto menjadi Presiden RI untuk periode brikutnya. Untuk meyakinkan, dibuatlah event “kebulatan tekad” mendukung Pak Harto kembali dicalonkan sebagai Presiden RI pada SU MPR 1998.

Berbagai ormas dan kelompok masyarakat diperalat untuk melakukan apel kebulatan tekad di berbagai daerah di Indonesia. Singkatnya, jawaban atas tugas itu—seperti ditulis Djaja Suparman dalam Jejak kudeta 1997-2005, Catatan Harian Letnan Jenderal (Purn) TNI Djadja Suparman (2013, hlm. 61)-adalah, “Bapak Soeharto masih pantas memimpin negara ini dan rakyat mengharapkan Bapak Soeharto untuk bersedia menjadi presiden berikutnya.”

Akhirnya, majulah Pak Harto menjadi Presiden RI untuk ke-7 kalinya .MPR pun memilih kembali Soeharto menjadi presiden untuk periode ke-7 pada Maret 1998. Namun, hanya dalam hitungan dua bulan lima hari usai pelantikannya, Soeharto dipaksa mundur oleh gerakan Reformasi yang dimotori mahasiswa. Pada masa krusial ini, Harmoko yang semula mendorong Soeharto untuk maju lagi jadi presiden itu justru balik badan meminta Soeharto untuk mundur dari jabatannya.

“Pimpinan Dewan dalam rapatnya hari ini telah mempelajari dengan cermat dan sungguh-sungguh perkembangan dan situasi nasional yang sangat cepat yang menyangkut aspirasi, terbentuk Sidang Umum MPR dan pengunduran diri Presiden,” ujar Harmoko sebagaimana dikutip Kompas (19/05/1998) dan Media Indonesia (19/05/1998).

Kepada Soeharto, suka tak suka, Harmoko harus bilang, “Presiden … sebaiknya mengundurkan diri.” Harmoko pun bernasib sama seperti Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie, yang dijauhi oleh sang patron pada masa-masa tuanya. Pendukung setia Soeharto pun mencap mereka sebagai pengkhianat yang menjerumuskan “atasannya”. Tapi, tidak seperti Soeharto yang diuber kasus hukum, Harmoko kemudian hidup tenang di usia senja.