Penyesalan Sang Presiden Pasca Periode Diperpanjang, Akankah Berulang?

Ada empat poin utama yang disampaikan Yoga sebagai alasan, yakni faktor usia Soeharto dan lamanya rentang kuasa yang relah diemban, serta bisnis keluarga dan putri-putranya yang terus membesar bisa menjadi sumber kecemburuan sosial dan sasaran tembak orang orang yang tidak suka.

Bagi Yoga, periode 1983-1988 merupakan puncak keemasan kepemimpinan Soeharto, dan sesudah itu dikhawatirkan akan mulai melemah nantinya. Berdasarkan sejumlah alasan itulah, kemudian Yoga menyarankan agar Soeharto dengan jiwa besar, legowo untuk lengser keprabon dan tidak maju lagi dalam masa jabatan berikutnya pada 1988. Namun apa yang terjadi diluar dugaannya.

Menurut Wiwoho, Soeharto tak menanggapi saran Yoga dan lebih banyak diam, tak menanggapinya. Sementara Sekretaris Negara Sudharmono dan Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani yang hadir dalam pertemuan tak sependapat dengan Yoga. Ketika terjadi perdebatan di antara mereka, Ibu Tien Soeharto yang diam-diam mengamati, kemudian melintas di ruang pertemuan seraya memberi isyarat yang cenderung mendukung usul Yoga.

“Peristiwa malam itu sangat menyakitkan hati Yoga. Ia memutuskan tidak menghadap Pak Harto lagi jika tidak dipanggil,” tulis Wiwoho. Sejak malam itu, dia melanjutkan, pertemuan rutin setiap Jumat malam yang sudah berlangsung sejak 1974 terhenti, alias tidak ada kelanjutannya.

Sebaliknya dengan Benny yang juga merangkap jabatan sebagai Panglima Kopkamtib, belakangan dia menyadari kebenaran saran Yoga. Benny akhirnya mafhum bahwa kiprah anak-anak sang presiden dalam berbisnis menumbuhkan iklim tak sehat dan berbahaya. Hingga pada suatu hari, dia memberanikan diri untuk menyampaikannya langsung kepada Soeharto di sela-sela bermain biliar di Cendana. Tetapi reaksi Soeharto di luar perkiraannya.

“Wah bapake ketoke nesu banget. Saya pasti selesai, hanya akan sampai di sini…,” keluh Benny kepada Laksamana Sudomo. Feeling sang intel sepenuhnya benar. Beberapa saat menjelang Sidang Umum MPR, Benny dicopot dari jabatannya sebagai Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib.

Dalam kisahnya Benny bercerita : “Ketika saya angkat masalah anak-anak itu, Pak Harto berhenti bermain, masuk kamar tidur dan meninggalkan saya di kamar biliar,” kata Benny kepada Brigjen Purn Ben Mboi mantan dokter tentara dalam operasi Mandala. Demikian dikutip dalam buku Benny Moerdani Yang Belum Terungkap di seri buku Tempo.

Kejadian ini juga diceritakan oleh Mantan Panglima Kopkamtib Laksamana (Purn) Sudomo.Ia menceritakan bahwa Benny Mordani memang pernah menyarankan Soeharto untuk mempertimbangkan mengundurkan diri secara sukarela karena telah memimpin Indonesia 20 tahun lamanya.

Sebuah masa bakti presiden yang terlalu lama.  Kemudian Benny mengambil contoh Presiden ke-1 RI Soekarno memimpin Indonesia selama 22 tahun jatuh karena pemberontakan PKI yang kemudian melahirkan Orba.  Saat itu Sudomo langsung menghadap Soeharto ketika mengetahui Benny memberikan saran kepada Soeharto untuk mundur dari kursinya.

Menurut penuturan Soedomo, saat itu pak Harto sangat marah karena menerima nasehat dari orang dekatnya.  “Saya melihat Pak Harto sangat marah sebab yang menyampaikan saran justru seorang yang pada masa itu paling dia percayainya,” kata Sudomo dalam buku Benny, Tragedi Seorang Loyalis karya Julius Pour.

Menurut Sudomo, Benny sudah siap menerima risiko terburuk karena berani mengemukakan pendapat agar Soeharto mundur dari jabatannya. Benny pun menemui Sudomo dengan mengatakan pasti tidak akan dimasukkan dalam Kabinet Indonesia berikutnya.

Saat itu Benny sadar kemarahan besar Soeharto ketika dirinya mengkritik tingkah laku anak Pak Harto. Sudomo berpendapat apa yang dikemukakan Benny mengenai sepak terjang anak Pak Harto banyak benarnya. “Kalau bukan Benny siapa pada waktu itu berani menyampaikan kepada Pak Harto?,” katanya.