Penyesalan Sang Presiden Pasca Periode Diperpanjang, Akankah Berulang?

Pengingat dan “Penjilat”

Dalam setiap masa ketika sebuah rejim sedang berkuasa, akan selalu ada barisan orang orang yang berada dilingkaran kekuasaan atau lingkar istana. Orang orang dekat penguasa ini ada yang berperan sebagai pengingat agar penguasa yang didukungnya selamat sampai akhir masa jabatannya. Barisan ini biasanya terdiri dari orang orang idealis yang tidak ingin presiden yang di dukungnya terjerumus kedalam lobang kegagalan selama memimpin bangsa.Ia tidak ingin pemimpin yang didukung berakhir “suulkhotimah” dalam mengakhiri masa jabatannya.

Tetapi ada juga barisan orang dekat dilingkaran kekuasaan yang bermain untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Barisan ini biasanya memperalat penguasa yang menjadi pimpinannya untuk mengamankan kepentingannya. Mereka akan berupaya sekuat tenaga agar supaya pemimpin yang didukung bisa terus berkuasa agar nikmat kekuasaan yang selama ini dirasakan bisa terus terjaga kalau bisa untuk selama lamanya meskipun merugikan rakyat pada umumnya.

Dizaman Orba ketika Pak Harto berkuasa ada barisan orang orang yang menjadi pengingat penguasa. Mereka adalah orang dekat dilingkaran penguasa yang mengetahui persis kondisi yang terjadi di sekitar istana.

Diantara para pengingat istana di zaman Orba itu tercatat nama Letjend Ali Murtopo dan Jenderal Yoga Sugomo. Hubungan kedua orang ini dengan Presiden Soeharto tak sebatas sebagai bawahan-atasan, tetapi sudah sedulur sinorowedi, bagaikan sahabat sejati, bahkan saudara. Karena itu mereka selalu ngeman dan telah selalu membuktikan untuk rela pasang badan demi Pak Harto.

Ngeman adalah bahasa Jawa yang menggambarkan perasaan simpati terhadap orang lain, sehingga tidak rela orang tersebut mengalami musibah,  tersakiti atau menderita.Dalam rangka “ngeman” ini, keduanya menilai masa jabatan Soeharto sebagai Presiden RI yang akan mencapai 16 tahun pada 1983, merupakan masa jabatan yang cukup lama, bahkan sama dengan empat kali masa jabatan Presiden di Amerika.

Masa jabatan selama itu tentu sudah luar biasa dan sangat membanggakan, tetapi juga bisa menimbulkan berbagai ekses buruk pada akhirnya. Memahami segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi, mereka berdua mencoba mengingatkan Soeharto dengan cara Jawa, yaitu memangku dengan menggulirkan gelar “Bapak Pembangunan”. Tujuannya agar Soeharto cukup merasa puas dan kemudian berkenan lengser dengan tidak mencalonkan lagi menjadi Presiden pada periode 1983 – 1988.

Namun karena operasi tersebut ekstra rahasia dan peka, Yoga dan Ali tidak bisa bergerak secara leluasa. Akibatnya ada pihak-pihak lain yang justru memanfaatkan upaya ini untuk mencari muka dan berupaya Asal Bapak Senang, sehingga akhirnya gagal dan melenceng dari tujuan semula. Soeharto senang dengan pemberian gelar `Bapak Pembangunan` dan tetap maju menjadi Presiden periode 1983-1988.

Wiwoho dan Banjar Chaeruddin mengungkapkan hal tersebut dalam buku Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar.Jika sampai timbul pertanyaan dari Soeharto, siapa yang harus menggantikannya? Yoga menyatakan, “Sebaiknya generasi peralihan dari Angkatan `45. Siapa saja yang Pak Harto pilih, maka saya akan mendukung dan menyukseskannya.”

Gagal dengan cara memangku, dalam suatu pertemuan rutin mingguan, Mei 1985, Yoga Sugomo mencoba mengingatkan kembali Soeharto. Kali ini tidak dengan `Cara Jawa` tapi secara terbuka dan apa adanya berdasarkan analisa dan perkiraan keadaan yang ada.