Penyesalan Sang Presiden Pasca Periode Diperpanjang, Akankah Berulang?

Kebulatan Tekad

Dahulu ketika penguasa Orba akan berakhir masa jabatannya, selalu muncul gerakan kebulatan tekad untuk kembali mencalonkannya. Setiap menjelang pemilu dua kata yaitu “kebulatan tekad” begitu akrab ditelinga warga Indonesia.

Kebulatan tekad itu disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat mulai dari ormas, politisi sampai dengan ulama atau tokoh agama. Sering muncul berita dukungan kebulatan tekad itu dari berbagai daerah yang mengalir deras menghiasai pemberitaan media massa.  Pendeknya  tak terhitung jumlah lembaga meneriakkan dua kata itu untuk menunjukkan dukungan pada pemerintah yang sedang berkuasa agar bisa kembali menduduki jabatannya..

Mengapa Soeharto saat itu butuh dua kata tersebut, pada hal bukankah dia penentu segalanya?.  Dalam hal ini Soeharto memang terbilang cerdas dalam memelihara kekuasaannya. Dengan adanya gerakan kebulatan tekad, maka bisa mengesankan bahwa perpanjangan jabatannya  lahir dari keterpanggilan rakyat  bukan atas kemauan dirinya. Ia ingin disebut pemimpin yang dirindukan dan dicintai oleh rakyatnya sehingga rakyat dikesankan ingin terus dipimpin olehnya.

Gayung bersambut, segera aspirasi yang dikesankan berasal dari arus bawah itu segera direspons oleh institusi kekuasaan yang berwenang mengeksekusinya. Melalui saluran partai politik yang ada,keinginan itu diwujudkan dalam bentuk pencalonan Soeharto untuk presiden berikutnya. Hampir semua elemen bangsa merasa tidak berdaya mengikuti proses “rekayasa” sistematis tersebut karena memang di desain sedemikian rupa sesuai dengan koridor konstitusi yang ada.

Karena kebetulan waktu itu, tidak ada aturan yang melarang seorang Presiden untuk dicalonkan kembali meskipun yang bersangkutan sudah dua kali menduduki jabatannya. Peluang ini akhirnya dimanfaatkan oleh penguasa Orba tersebut untuk terus berkuasa hingga ketuju kalinya atau 32 tahun lamanya.

Belajar dari pengalaman yang terjadi pada masa Orba itulah kemudian ketika feformasi bergulir ditahun 1998, salah satu agenda reformasi yang diusung mahasisa adalah melakukan amandemen kontitusi khususnya dimaksudkan untuk membatasi masa jabatan seorang presiden agar tidak terus menerus berkuasa.

Sebelum amandemen,  pasal 7 UUD 1945 berbunyi: “”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.”Setelah amandemen maka bunyinya berubah menjadi : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.*)

Dengan adanya perubahan tersebut maka tidak ada lagi peluang seorang Presiden untuk kembali menduduki jabatannya setelah 2 periode masa jabatannya berakhir meskipun “misalnya” yang bersangkutan sangat moncer prestasinya.

Urgensi perlunya dibatasi masa jabatan presiden adalah dimaksudkan supaya seseorang tidak menjelma menjadi pemimpin yang otoriter, menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan, untuk regenerasi kepemimpinan bangsa dan supaya tidak terjadi kultus individu kepadanya.

Tetapi anehnya pembatasan masa jabatan itu kini mau diubah lagi dengan alasan yang dibuat buat supaya terlihat masuk akal demi untuk melanggengkan kekuasaan presiden yang berkuasa. Apakah ini bukan suatu kemunduran demokrasi namanya ?