Sedangkan Gubernur harus memiliki kompetensi bukan saja urusan keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi juga urusan sosial perekonomian, perdagangan, UKM dan Koperasi, investasi daerah, penganggaran, sosial budaya seperti kesehatan dan pendidikan bahkan lingkungan hidup. Perwira Polisi, apalagi masih aktif, pasti tidak memiliki kompetensi baik dari sisi pengetahuan, unjuk kerja bahkan kepemimpinan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan rakyat.
Karena pada prinsipnya dari politik pemerintahan Perwira Polri tidak kompeten dan layak menduduki jabatan kekuasaan negara seperti Gubernur, maka kebijakan penunjukkan dua Petinggi Polri sebagai Pejabat Gubernur kini dalam issu politik nasional, menjadi tidak efektif dan efisien bahkan bertentangan dengan prinsip demokratisasi dan reformasi. Kita dalam perjalanan mundur ke belakang bagaikan era Orde Baru. Kalau pada era Orde Baru ada dwifungsi ABRI, kini muncul pula dwifungsi Polri. Menyedihkan tentunya bagi pelaku pro demokrasi.
Dari sisi regulasi, ada pengamat politik pro demokrasi menilai rencana penunjukan Petinggi Polri ini
berpotensi melanggar Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
Dalam perkembangan issu politik nasional ini muncul persepsi dan klaim jika rencana kebijakan ini menguntungkan atau demi kepentingan PDIP dalam memenangkan pertarungan kekuasaan negara melalui Pilkada mendatang. Dinyatakan, karena Mendagri kader PDIP maka kebijakan itu menguntungkan PDIP. Saya kurang sepakat dengan klaim atau penilaian semacam ini. Ada dua alasan utama.
Pertama, daerah Sumut dan Jabar tidak pernah dimenangkan oleh Pasangan Cagub dan Wacagub usungan atau dukungan PDIP. Di dua Provinsi ini memang konstituen PDIP relatif banyak, tetapi PDIP tidak pernah menang dalam pertarungan kekuasaan negara di daerah itu. Karena itu, tidak rasional dan ahistoris suatu penilaian bahwa PDIP akan menang jika rencana kebijakan ini diimplementasikan. Saya percaya, pihak diuntungkan dan berkepentingan dari sisi politik kekuasaan bukan PDIP, tetapi rezim kekuasaan Jokowi. Rezim kekuasaan Jokowi lah paling rasional berkepentingan dengan kebijakan ini.