Penundaan Pemilu: Dari Jokowi Untuk Jokowi

Apa jadinya jika pemilu ditunda? Siapa yang bakal menjadi presiden? Bagaimana dengan menteri-menterinya? Apa dasar hukum bagi presiden selama rentang waktu penundaan itu? Sederet pertanyaan tersebut harus diajukan karena pemerintahan Joko Widodo pasca 2024 jelas tidak memiliki legitimasi hukum.

Padahal,  UUD 1945 tidak mengenal pejabat presiden. Pelaksana tugas kepresidenan memang dimungkinkan oleh pasal 8 UUD 1945 dijabat Menteri Dalam Negeri. Tetapi, itu hanya jika presiden dan atau Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan. Lagi pula, masa jabatan Mendagri akan berakhir seiring berakhirnya masa jabatan presiden.

Kalaulah Jokowi-Ma’ruf Amin dipaksakan tetap memimpin, maka pasangan ini dan para menterinya ilegal, termasuk MPR, DPR dan DPD yang siklus pemilihannya ikut dalam Pemilu. Jika penyelengara negara ilegal, Ketua Umum PBB yang juga ahli hukum tata negara mengatakan, rakyat tidak ada kewajiban apa pun untuk mengikuti. Dan negara akan kacau sekacau-kacaunya.

Pada akhirnya, gerakan _people power_ akan mencari celah dan legitimasinya sendiri. Sinyalnya mulai muncul. Belum lama ini, Partai Buruh menyatakan akan memimpin gerakan _people power_ bila gagasan itu tetap dipaksakan. Risiko _people power_ tentu tidak sedikit. Namun, setidaknya gerakan rakyat memiliki landasan konstitusionalitas yang jauh lebih kuat ketimbang gagasan konyol penundaan Pemilu.

Maka, para Ketum Parpol pengusung ide penundaan pemilu seharusnya menyadari situasi buruk di atas. Taruhannya bukan hanya masa depan partai politik, tetapi masa depan Indonesia secara keseluruhan. Memang sangat mengherankan. Bagaimana mungkin tiga Ketum Parpol seperti dalam satu komando mengusulkan sesuatu yang melawan konstitusi dan berpotensi besar merusak negeri?