Setelah selesai konsultasi dengan AS, Israel terus menaikan semangat perangnya. Israel yang bersandar penuh pada semua yang beraroma AS, mulai dari senjata, keuangan, intelijen, dan tak ketinggalan, yang telah melakukan tugasnya dengan baik, liputan media dan politik.
Tidak heran jika kritik atau kecaman yang datang dari berbagai penjuru, termasuk organisasi kemanusiaan atau resolusi Dewan Keamanan PBB lewat begitu saja; seperti juga opini publik yang kini beredar. Arus paham Anti-Semit menjadi tameng bagi moral Israel.
Dalam perangnya di Gaza, Israel telah merumuskan sebuah tujuan kebijakan, yaitu memusnahkan sejumlah besar rakyat Palestina, dan meneror mereka yang masih hidup dan memaksa siapa saja untuk membuat Hamas bertekuk-lutut.
Perang ini juga mereka dimaksudkan tertutup rapatnya negosiasi pintu damai, dan segera membentuk pemerintahan Palestina di Jalur Gaza setelah para pemimpin Hamas dienyahkan. Israel sudah sangat spesifik menentukan akan semua tujuannya. Israel yakin bahwa Washingthon di belakang mereka, dan yan paling utama George Bush tak akan pernah mengecewakan mereka sebelum pensiun dari Gedung Putih. Bersama sekutu setianya yang lain, seperti Inggris, Tony Blair, Bush memberikan restunya akan perang ini.
Dalam hal ini, kita tak boleh lupa bahwa semua kekacauan yang terjadi di tanah Arab, baik penyebabnya internal ataupun eksternal, telah menjadi kesempatan dan keberanian terbesar bagi Israel untuk melaksanakan kejahatannya itu. Israel dalam hal ini memanfaatkan tradisi bangsa Arab yang telah mengakar bertahun-tahun, bahwa bangsa Arab tidak pendendam, sekalipun yang diterima oleh mereka adalah sebuah kejahatan yang maha dahsyat.
Tentara Israel percaya bahwa akan sangat efektif untuk melaksanakan tujuannya hanya dalam waktu satu atau dua minggu. Di pekan kedua setelah penyerangan Israel terhadap Gaza, Washington mulai buru-buru untuk mengeluarkan Israel dari dilema perang yang menjadi masalah baru negara Zionis itu.
Menlu AS, Condoleezza Rice terjun langsung untuk menjadi juru damai dengan meyakinkan negara-negara Arab bahwa AS lah yang memprakarsai resolusi damai itu. Namun, hari berikutnya, Rice menyatakan abstain.
Israel menyatakan bahwa Perdana Menteri Ehud Olmert telah menghubungi Bush selama pembahasan resolusi damai dan memintanya untuk menunda agenda itu, paling tidak, selama seminggu. Sikap abstain Rice yang tak keruan dan mencla-mencle, merupakan perintah langsung dari Gedung Putih, sesudah Bush menerima perintah dari Perdana Israel, Ehud Olmert.
Sebaliknya, AS malah semakin gencar mengirimkan senjata ke Israel. Ini memang sama sekali tidak mengejutkan siapapun–karena kita sudah lama menyaksikan AS yang begitu aktif mensuplai senjata kepada Israel dalam berbagai kejahatan perang terhadap Palestina. Di mulai tahun 1973 ketika Washington mendirikan jembatan untuk mensuplai tentara Israel, kemudian memberikan dana tak terbatas milyaran dollar yang berasal dari pajak rakyat AS, dan menyediakan bom bagi Tel Aviv. Untuk kejahatan semua itu, Tony Blair ikut berperan di dalamnya.
Lebih jauh, di tengah-tengah kejahatan yang sedang berlangsung di Gaza, Kongres baru AS menghasilkan keputusan sebuah solidaritas untuk Israel dengan jumlah voting yang sangat mencolok; 410 banding 8. Kita bisa menyimpulkan bahwa Kongres yang dipimpin oleh Rahm Emmanuel Kepala Staf Gedung Putih, merupakan orang kepercayaan Barack Obama, sang presiden baru terpilih. Emmanuel pengikut Partai Konservatif Likud yang membabi-buta dan dia sudah tahunan menjadi tentara dan hamba Israel. Ayahnya adalah anggota Irgun (kelompok yang menjadikan ayah Olmert dan Tzipi Livni menjadi sohib). Bahkan dari sini kita bisa melihat bahwa Menteri Luar Negeri AS berikutnya, Hillary Clinton, begitu antusias mendukung Israel daripada Yahudi sendiri. Maka, sama sekali tak akan ada perubahan dalam kebijakan luar negeri AS. Siapapun yang percaya akan perubahan itu sungguh amat bodoh.
Di tangan Obama, holocaut masih akan terus berlanjut, mungkin di Tepi Barat dan Lebanon Selatan. Orang Arab yang kelak merasakan kekejaman Washington era baru. Bukan orang lain.
Mostafa Zein