Persoalan berat adalah jika ternyata justru pengelola negara itu yang merosot rasa nasionalisme dan patriotismenya. Negara bisa “dijual” atau “digadaikan” kepada negara asing. Ini berbahaya dan tak bisa ditoleransi. Pengaruh kekuasaan itu luar biasa besar terhadap dampaknya. Rakyat dan bangsa Indonesia bisa terjajah kembali.
Asing dapat menguasai bersama dengan penguasa yang menjadi kolaboratornya. Meskipun terkadang dibingkai dengan dalih “mulia” seperti investasi, hubungan baik, atau bantuan luar negeri. Sama saja.
Masalahnya bukan sekadar TKA China tapi ekonomi pribumi yang sudah lama dikuasai oleh etnis China. Bahkan kini sudah bergeser ke ranah politik berupa kerja sama erat dengan Pemerintah Komunis China. Presiden dan jajaran Pemerintahannya terkesan sudah tergantung pada Negara China.
Jika nasionalisme dan patriotisme para pengelola negara ini merosot bahkan hilang, maka berbahaya sekali bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Tak cukup dengan penataran atau berbagai bentuk penyadaran lagi.
Hal seperti ini sudah harus dengan sikap yang jelas dan tegas, baik dengan interpelasi parlemen ataupun langsung pelengseran atau penggantian.
Bagi pejabat pengkhianat yang berperan dalam “menjual” atau “menggadaikan” negara Indonesia sepatutnya juga untuk dihukum mati. Siapapun mereka. Bila hukum tembak dianggap terlalu menyenangkan perlu dipertimbangkan pengaturan baru untuk hukum gantung. Agar ada efek jera.
Nasionalisme dan patriotisme harus dimiliki oleh seluruh rakyat dan bangsa Indonesia, khususnya bagi mereka yang diberi amanat untuk menjadi penyelenggara negara.
Majelis UIama Indonesia (MUI) telah memberi landasan spiritual dan memberi peringatan istimewa.
Ahsantum Yaa Kyai. Barokallahu Fiikum. (*end)
Penulis: M. Rizal Fadillah