Elit Indonesia, nampaknya, lebih mengikuti pemikiran seorang ekonom dua abad lalu daripada tujuan pendirian negara ini.
David Ricardo, 1817, berbicara tentang keuntungan perdagangan melalui comparative advantage pada Principles of Political Economy and Taxation. Sementara Panitia Sembilan berbicara tentang tujuan pendirian Negara Indonesia pada Pembukaan UUD 1945.
Ricardo, seorang ekonom dan broker saham, mengadvokasi perdagangan atas manfaat efisiensi produksi dan penambahan konsumsi. Sedangkan Panitia Sembilan –Soekarno, Hatta, dan kawan kawan- mengadvokasi penghapusan penjajahan di atas dunia. Mereka menyatakan, lalu menjadi sebuah konstitusi, bahwa merdeka adalah hak segala bangsa dan penjajahan tidak adil serta tidak manusiawi.
Tapi, sebulan lalu, tanpa ribut-ribut dari elit republik ini, Indonesia toh membuka diri terhadap delegasi Israel untuk bisnis dan perdagangan. Dan dengan itu kita, secara tidak resmi, telah menyatakan lupa, dan mungkin maklum, terhadap kebiadaban Operasi Cast Lead pada awal tahun ini.
Memang, Israel adalah sebuah negara unggul -dalam bidang IT, komunikasi, dan pertanian- yang layak berdagang dengan Indonesia. Perdagangan antar dua negara, menurut comparative advantage, akan menghasilkan efisiensi produksi sehingga rakyat dua negara dapat mengkonsumsi lebih banyak. Pada akhirnya, apakah mungkin, berkat hubungan dagang dengan Israel, Indonesia akan lebih makmur dan sejahtera? Dan, sebagai contoh Mesir telah membuka hubungan bilateral dengan Israel, dan melakukan kerjasama diberbagai bidang, termasuk dibidang pertanian. Apakah Mesir sekarang menjadi negara yang lebih makmur?
Namun, dalam Principles of Political Economy, Ricardo hanya seorang ekonom positif yang berbicara mengenai pengungkapan sebuah fenomena: manfaat hubungan dagang antar negara normal. Ia, seperti seorang ilmuwan yang berbicara tentang bunyi, mengungkapkan proses terjadinya bunyi tanpa berbicara bagaimana seharusnya bunyi yang baik bisa terjadi dan terdengar.
Dan Israel, bukanlah sebuah bunyi yang baik. Pemerintahannya -yang keji- belum, dan entah kapan, berlaku baik terhadap negara jajahannya. Tepi Barat, sebuah daerah lemah, ditutup oleh 130 km tembok pembatas ilegal, dan Gaza dihancurkan oleh sebuah operasi militer era modern. Pemerintah Israel, yang tuli terhadap protes kemanusiaan, adalah sebuah perintah yang, selama 22 hari operasi Cast Lead, membunuh 1409 orang, di mana 83 persen-nya adalah korban sipil.
Sementara Indonesia, setidaknya 64 tahun lalu, adalah sebuah cita-cita luhur. Mereka, di alinea pertama pembukaan konstitusinya, berbicara tentang kemerdekaan dan penghapusan penjajahan. Seperti seorang komponis, Indonesia 64 tahun lalu berbicara tentang penyusunan bunyi yang baik: bagaimana seharusnya hubungan luar negeri, ketertiban dunia, harus terjadi.
Indonesia, memang, berbicara juga tentang kemajuan kesejahteraan umum, namun, pada konteks yang berbeda. Kesejahteraan umum dalam konstitusi adalah kesejahteraan rakyat kecil -konteks 1945- yang belum mampu untuk makan tiga kali dalam sehari. Bukan kesejahteraan umum untuk penambahan konsumsi agar lebih banyak, yang tidak jelas untuk apa, selain obesitas. Dan bukan kesejahteraan umum, hasil perdagangan luar negeri, yang dibangun dari darah rakyat negara lain.
Namun, pada saat-saat ini, Indonesia telah mengabaikan cita-cita luhur itu. Efisiensi produksi dan penambahan konsumsi, jauh lebih penting daripada tujuan sesungguhnya negara ini didirikan. Perdagangan dan kerjasama dengan Thailand, misalnya, menjadi jauh lebih penting dari soal kemanusiaan dalam konstitusi. Indonesia, lalu memilih diam terhadap kekejian pelarungan ratusan Muslim Rohingya ke laut.
Hal serupa dengan Cina, di mana pemberian kredit dan lakunya ekspor migas merupakan hal yang lebih penting dari konstitusi negeri. Penindasan Muslim Uighur lantas menjadi soal dalam negeri Cina, yang tidak usah diusik-usik, bukan soal keadilan sosial seperti dalam konstitusi.
Solidaritas Asia, 60 tahun lalu, rasanya, tidak dengan mudah berulang. Saat itu, 19 negara Asia sangat konsisten mendukung kemerdekaan Indonesia dan menjadi pengecam keras Agresi Belanda II. Pembukaan hubungan dagang dengan Belanda, pada saat itu, mungkin akan menjadi sebuah pengkhianatan tak terlupakan. Dan sejarah mencatat, negara ini berhutang budi, sangat banyak, terhadap solidaritas seperti itu.
Namun memang, seperti kata Ketua Kadin, perdagangan dengan Israel -apabila benar terjadi- dapat menguntungkan Indonesia. Keunggulan mereka di bidang IT, komunikasi, dan teknologi pertanian -seperti hanya mereka yang memiliki keunggulan tersebut- bisa membuat rakyat Indonesia lebih makmur dan sejahtera.
Dan kemakmuran itu, dibangun di atas legitimasi pembunuhan 1409 orang, dalam sebuah operasi selama 22 hari. Kesejahteraan, yang dibangun di atas pemakluman terbunuhnya 111 perempuan dan 355 anak-anak.
Maka, sebuah keniscayaan. Kesejahteraan yang dibangun dengan pengabaian prinsip dasar, dapat dipastikan, selalu dibangun di atas legitimasi pencabutan hak hidup orang lain.
Dan kita tahu, itu bukan hanya soal dagang luar negeri, tapi, bisa juga soal cara sebuah partai politik membangun kekuatannya. Seperti kesejahteraan, dengan pengabaian prinsip keadilan dan kebenaran.
Rizki A.Hakim (Alumni Dept FE UI) – [email protected]