Penetrasi Cina, Belajar dari Turkistan Yang Hilang Dari Muka Bumi

Kita bangsa Indonesia harus belajar dari fakta sejarah Turkistan yang termaktub dalam buku berjudul “Turkistan: Kisah Hilangnya Negara Islam” yang ditulis oleh Najib Al-Kailany, seorang sastrawan terkenal dari Mesir. Bahwa eksplorasi Turkistan yang terletak di Asia Tengah dengan penduduk mayoritas keturunan Turki, merupakan salah satu benteng kebudayaan dan peradaban Islam. Pada abad ke-16 sampai abad ke-18, Negara Cina dan Rusia mulai gergaji kekuasaan Turkistan dan melakukan ekspansi teritorial militer.

China mulai bergerak menaklukkan Turkistan Timur dan kemudian merubah namanya menjadi Sinkiang, sementara Turkistan Barat telah lebih dahulu dicaplok Rusia. Dengan berbagai alasan politik, Soviet menghapuskan nama Turkistan dari peta dunia dan memancangkan nama Republik Soviet Uzbekistan, Republik Soviet Turkmenistan, Republik Soviet Tadzhikistan, Republik Soviet Kazakestan, dan Republik Soviet Kirgistan.

Atas aksi ekspansif militer dan infrastruktur China tersebut, Turkistan, kini benar-benar telah raib (musnah) dari peta dunia. Rusia dan Cina telah memecahnya menjadi negara-negara yang kini termasuk bagian dari Rusia dan Republik Rakyat Cina.

China melalui One Belt One Road dengan program invasi infrastruktur itu telah mengadakan konflik militer atas nama perlindungan terhadap infrastruktur secara total di Turkistan. Indonesia harus belajar dari hilangnya Turkistan.

Dahaga Infrastruktur dan Penetrasi China

Gayung bersambut, rakyat Indonesia dan elit politiknya masuk kategori “Dahaga Infrastruktur.” Bahkan, beberapa hari kemaren perwakilan pemerintahan China telah datang menemui Ketua DPR dan pejabat negara lainnya.

Konteks dahaga ini puluhan tahun Indonesia setelah merdeka terus memakai pendekatan infrastruktur sebagai model untuk menaikkan tingkat kesejahteraan dan menggurangi kemiskinan. Padahal, ada cara lain. Kalau invasi dan penetrasi China ini tidak terkontrol, maka Indonesia bisa lepas dan hilang dari muka bumi.

Dahaga infrastruktur itulah pertanda bahwa rakyat Indonesia masuk dalam kategori “haus kekuasaan, haus atas kemiskinan”. Padahal kalau jeli dan teliti membacanya itu bagian dari penguasaan terhadap kedaulatan bangsa ini.