Eramuslim.com – MASYARAKAT Indonesia disajikan akrobat proxy war antara asing dengan rakyat. Bahkan, pertentangan satire antara ECI (China) versus Pribumi. Namun, Pribumi menjadi musuh bersama dari kans neolib, kolonialis, Aseng, Asing dan Taipanisme.
Diksi propaganda dan agitasi itu telah menjadi metodologi perjuangan antar kelompok, ras bahkan agama. Masing-masing mereka merebut lahan kekuasaan politik sebagai sumber segalanya.
Di Indonesia sendiri, kurun waktu 30 tahun ini, diskursus China versus pribumi belum usai, bahkan bermetamorfosis pada pembentukan metodologi baru yang dinamakan penguasaan “Taipanisme”. Hingga sekarang belum ada kata damai. China dianggap lakukan offside terhadap kedaulatan bangsa Indonesia. Karena, mereka dicurigai membangun tatanan baru melalui konspirasi politik tingkat tinggi.
Kita bisa lihat, 4 tahun ini di Indonesia, agenda-agenda penyajian pertarungan propaganda melawan gagasan Belt and Road Initiatif terus berlanjut tentang win-win sustainaibility (solusi berlanjut) akan pengembangan dan masa depan China. Bahkan, ada yang meyakini kelompok pribumi akan melawan, seperti semangat melawan Belanda sejak 500 tahun yang lalu.
Menurut Allesandro Alduino (2018: 13) dalam bukunya “China’s Private Army: Protecting the New Silk Road” bahwa sejak peluncuran BRI pada tahun 2013, publik Tiongkok melakukan diplomasi ekonomi, politik dan keamanan. Hal itu dilakukan untuk memanfaatkan metafora Global Silk Connectivity pembangunan berkelanjutan bagi China untuk menguasai dan menyambungkan jalur perdagangan dunia.