Semestinya tim ini dibentuk oleh Menkopolhukam. Anggotanya terdiri dari kalangan independen yang telah teruji kredibilitas dan keberaniannya, seperti akademisi, aktivis NGO, ulama, praktisi hukum dan dokter forensik.
Formulasi tim pencari fakta ini serupa dengan TGPF pengungkapan kasus penembakan di Kabupaten Intan Jaya, Papua, pada 17 September lalu. Hal ini sangat penting untuk membuktikan bahwa pemerintah berlaku adil kepada semua warga negara, sekalipun berbeda pandangan politik.
Hal terpenting yang harus diungkap ialah siapa yang bersalah, sesuai kebenaran fakta peristiwa. Jika tidak diungkap kebenarannya, maka peristiwa ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di negeri ini, di mana aparat negara dapat melakukan kekerasan hingga menghilangkan nyawa warga tanpa konsekuensi apapun, seolah-olah polisi berada di atas hukum (above the law).
Promoter Polri dipertaruhkan
PERTANYAAN sederhana muncul dalam perspektif hukum yang mudah untuk dikemukakan: Apakah HRS, yang sedang diduga melakukan kesalahan berupa pelanggaran protokol kesehatan di masa pandemi Covid 19, layak untuk dikuntit, dikejar dan dihadang serta ditangkap di KM 57 ruas tol Cikampek oleh petugas kepolisian, sekalipun ada issu rencana pengerahan massa?
Kedua, kasusnya sendiri masih dalam penyelidikan, dan panggilan kepada HRS hanya panggilan klarifikasi, yang tidak ada konsekuensi hukumnya jika ia tidak hadir, berbeda kalau sudah masuk penyidikan dan pro justisia, maka akan berlaku ketentuan di KUHAP.
Mengapa HRS diperlakukan sama dengan tersangka pelaku kejahatan dengan pemberatan, seperti perampokan, curat, atau terorisme. Adakah alasan hukum untuk menangkapnya dalam perjalanan Senin dini hari tersebut? Jika tidak ada, untuk apa ia dikuntit? Apakah HRS dan rombongannya adalah para tersangka pelaku kejahatan berat yang sedang dikejar dan hendak ditangkap oleh polisi, namun karena melakukan perlawanan, terjadilah peristiwa penembakan terhadap para tersangka tersebut?
Jika tidak, inilah kesalahan substansial pihak aparat.
Mengapa polisi begitu agresif dan sigap membuntuti setiap aktivitas HRS? Apakah agresifitas polisi ini inisiatif dari perintah pemimpin kepolisian di tingkat daerah ataupun pusat, yang ingin menunjukkan keberanian dalam bertindak, sebagaimana isyarat dari kriteria pemimpin Polri yang dikehendaki Presiden, yaitu berani, tegas dan tidak takut kehilangan jabatan? Sayangnya keberanian ini disalahtafsirkan dan justru jadi blunder, karena berisiko menjadi berlebihan.