Penembakan 6 Anggota FPI, Pertaruhan Kepercayaan kepada Polisi

Eramuslim.com  Rabu (09/12). Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Riziq Shihab (HRS) bersama keluarga (anak dan cucu-cucu), ingin melaksanakan agenda keluarga, yaitu ritual sholat Subuh berjamaah di sekitar Karawang, Jawa Barat. Perjalanan keluarga inti HRS dikawal oleh anggota laskar FPI pada Senin dinihari (7 Desember). Rombongan tersebut rupanya dikuntit aparat kepolisian. Mereka menghadang rombongan di jalan tol Cikampek, dan kemudian terjadilah penembakan terhadap enam anak bangsa itu.

Menurut versi kepolisian, sebagaimana disampaikan Kapolda Metro Jaya, anggota Laskar FPI melakukan perlawanan dengan senjata tajam dan dua pucuk pistol. Karena itu petugas kepolisian, mengambil tindakan tegas dengan menembak mati keenam anak bangsa dan warga sipil itu. Penjelasan Kapolda Metro Jaya ini bukanlah sesuatu yang final dan tidak mungkin diamini secara taken for granted. Ini masalah serius. Ini masalah hilangnya nyawa enam orang warga sipil di tangan aparatur kepolisian.

Menkopolhukam harus bentuk Tim independen

Ada dua kelompok di masyarakat yang merespon peristiwa memilukan ini. Kelompok yang membenci dan resisten terhadap HRS dan FPI, termasuk beberapa media massa mainstream, mendukung tindakan kepolisian itu. Mereka menganggap tindakan polisi sudah tepat. Kematian enam warga sipil dan anak-anak bangsa di moncong senjata polisi dipandang pantas, tanpa melihatnya dari perspektif yang lain.

Kelompok kedua, termasuk pegiat media sosial yang bernafaskan semangat juang pada pembelaan hak-hak kemanusiaan, memiliki perspektif berbeda. Sekalipun ada di antara kelompok ini yang tidak suka dengan FPI dan HRS, namun mereka memandang tindakan aparat kepolisian yang mengambil nyawa anggota Laskar FPI tersebut berlebihan, kelewat batas, melawan hukum dan keadilan, serta menyebabkan krisis percayaan terhadap polisi dalam memegang kewenangan menciptakan kamtibmas.

Dalam perspektif kelompok kedua inilah muncul wacana publik untuk mendorong dibentuknya Tim Independen Pencari Fakta (TIPF) yang bebas dari anasir politik dan bekerja secara objektif. TIPF ini sekaligus menjadi pembanding temuan Komnas HAM RI yang juga mengumpulkan fakta ihwal kasus ini. Tujuannya sama, yaitu untuk mengungkap kebenaran hakiki, dan siapapun yang bersalah harus dimintakan pertanggungjawaban hukum.