Oleh: Imam Shamsi Ali*
Beberapa hari ini dunia maya jadi heboh bahkan gaduh akibat pernyataan seorang pendeta Kristiani yang bernama Gilbert Lumoindong. Dalam video itu si Pendeta sedang menyampaikan khotbah kepada jamaahnya dan mengolok-olok ajaran Islam, khususnya zakat, sholat dan wudhu. Perlakuan pendeta itu kontan mendapat sambutan luas dari masyarakat Muslim, termasuk saya sendiri. Maklum agama dan segala hal yang terkait dengannya memang sarat dengan keyakinan, sesuatu yang inheren (mendasar) dalam hidup seseorang. Karenanya wajar jika agama selalu menjadi isu yang “highly sensitif” dan memerlukan sikap bijak dari semua pihak.
Saya tidak bermaksud merespon kepada isu-isu yang disampaikan dalam khotbah itu. Karena menurut saya amalan-amalan agama, baik pada tataran “imaniyah” khususnya teologis (ketuhanan), ibadah-ibadah ritual, hingga ke amalan-amalan yang sifatnya mu’amalat pastinya memiliki landasan keagamaan yang jelas. Tak satupun amalan agama (dalam Islam) yang merupakan amalan yang “dibuat-buat” (innovated).
Asumsi saya berbeda dengan agama Pendeta itu yang boleh jadi justeru agama merupakan kompilasi keyakinan dan amalan yang sarat dengan “mengada-ngada” (made up). Dari keyakinan tentang ketuhanan yang penuh misteri yang tak pernah terjawab hingga bentuk amalan-amalan ritual yang “diada-ada” sejak ribuan tahun. Maka wajar saja membandingkan Islam dan agamanya tidak akan nyambung dan relevan.
Agama-agama memang tidak perlu dibandingkan. Sebab masing-masing agama diyakini oleh pemeluknya sebagai ajaran yang benar. Seringkali keyakinan itu diikuti dengan keyakinan juga bahwa agama yang lain salah. Bagi saya hal itu tidak masalah. Islam sendiri mengakui adanya agama-agama selain Islam (al-adyaan). Tapi Islam meyakini bahwa “agama yang diakui di sisi Allah hanyalah agama Islam” (inna ad-diin‘inda Allah al-Islam).
Sholat, wudhu dan tatacaranya, maupun kwantitas Zakat merupakan amalan mendasar yang jelas aturan dan dasar keagamaannya dalam Islam. Hal-hal itu dan amalan lainnya dalam Islam diyakini sebagai hal yang mutlak dan ditaati sepenuh hati oleh pengikutnya. Sehingga umat ini tidak pernah mempermasalahkannya lagi. Aneh saja jika seorang Pendeta harus menyibukkan diri membicarakan sesuatu yang dia sendiri tidak yakini. Apalagi memang tidak tahu (jahil). Tapi begitulah karakter sebagian dalam beragama. Seolah puas jika menemukan apa yang dapat dianggap kekurangan pada agama orang lain.
Minta maaf itu paradoksikal
Justeru yang ingin saya soroti secara singkat adalah permintaan maaf si Pendeta itu kepada khalayak ramai (masyarakat) dengan mendatangi Bapak Muhammad Jusuf Kalla, Ketua Dewan Masjid Indonesia dan mantan Wapres RI. Permintaan maaf yang dilakukan oleh Pendeta itu pun sesungguhnya setengah hati. Karena dia tidak meminta maaf atas kesalahannya mengolok-look agama orang lain. Justeru dia meminta maaf lebih karena pernyataannya dianggap telah menimbulkan kegaduhan. Bukan karena kesalahannya “mengolok-olok” agama Islam.
Tapi sudahlah. Kami umat Islam tidak terlalu peduli dengan itu. Toh kemuliaan Islam dan kebenaran ini tidak berkurang karena tangkah laku dan kepongahan seorang Pendeta Gilbert. Kami yang tinggal dan menjadi pelaku Dakwah di Amerika patut bangga bahwa Islam dan kebenaran ini takkan pernah redup hanya karena kebencian sekelompok orang (Islamophobic).
Yang justeru masalah dengan permintaan maaf si Pendeta itu adalah terjadinya prilaku paradoks yang nyata. Dalam khotbahnya Pendeta itu menyebutkan bahwa umat Kristiani tidak perlu lagi bersuci (wudhu) sebelum
Ibadah karena mereka telah disucikan oleh darah Yesus. Tentu ini merujuk kepada pengampunan asal atas apa yang mereka yakini sebagai “dosa asal” (original sin) manusia. Bahwa semua manusia terlahir dalam keadaan kotor dan karenanya anak tuhan satu-satunya (the only begotten son) harus disalib untuk menebus dosa manusia.
Merujuk kepada konsep tersebut sesungguhnya menunjukkan ketidak pastian Pendeta Gilbert dalam keyakinan beragama. Ada paradoksi yang nyata dalam (apa yang disebutnya sebagai) “keimanan” dan kenyataan hidupnya. Di satu sisi mengaku yakin jika darah Yesus telah menjamin kebersihannya; tidak lagi berdosa/bersalah dan karenanya dengannya telah mendapatkan “keselamatan” (Salvation). Tapi di sisi lain meminta maaf karena merasa bersalah (?). Atau memang tetap merasa benar (bersih/suci) dengan darah Yesus (?).
Apapun itu, apa yang telah didemonstrasikan Pendeta Gilbert menunjukkan “kebingungan” Yang dalam. Keyakinan dan agama yang dibanggakan tapi ditampilkan dengan ketidak konsistenan. Pendeta Gilbert telah menampilkan prilaku paradoksikal dalam beragama. Mungkin ini pula yang maksud Al-Quran: “mereka itu tidak lain hanya mengira-ngira (yadzunnun)”.
Maka bagi saya, Pendeta itu tidak perlu meminta maaf. Selain karena memang pongah, tidak mau terus terang mengakui kesalahan. Juga karena keyakinan suci dan bersih dengan darah Yesus, memang tak akan merasa bersalah lagi. Dan permintaan maaf yang ditampilkan itu boleh hanya keputa-putaran atau kemunafikan? Tapi sekaligus penampakan prilaku agama yang paradoksikal secara nyata.
Bukankah begitu?
NYC Subway, 16 April 2024
*Diaspora Indonesia di Kota New York.
(sumber: Fajar)