Karena itu pada tempatnya kita sekarang bertanya, “Apakah Negara masih hadir manakala Covid-19 semakin mencemaskan?” “Di mana kesabaran Negara saat Negara mengatakan, ‘Mari berpilkada, toh kita tidak tahu kapan pandemi ini berakhir’?” Aneh bila Negara sampai frustrasi.
Keenam, Covid-19 tidak dapat bertahan jika ada jarak sosial dan fisik. Poin keenam ini merupakan pernyataan pamungkas dari seorang optimis yang meletakkan keselamatan rakyat sebagai hukum yang tertinggi. Sebagai negarawan yang optimis keduanya membatin, “Habis gelap terbitlah terang.”
Penulis harus mengakui sangat awam mengenai kedua negara di benua Afrika ini. Semasa SD-SMP penulis mengenal Uganda karena sepak terjang Idi Amin Dada Oumee yang berkuasa dari 1971-1979 dan saat “Peristiwa Entebbe” terjadi pada malam 3 Juli-4 Juli pagi.
“Peristiwa Entebbe” merupakan satu misi penyelamatan yang berhasil dilakukan oleh Sayeret Matkal, pasukan elit Israel dengan membebaskan 102 dari 106 tawanan di Lapangan Terbang Entebbe, Uganda.
Sementara itu Penulis mengenal Ghana, negeri di Afrika Barat yang berpenduduk lebih dari 30 juta itu hanya lantaran prestasi sepak bolanya yang tergolong ciamik (dua kali peserta Piala Dunia, dan masing-masing 4 kali juara pertama dan kedua Piala Afrika).
Lantaran pengetahuan yang minim pada kedua negara itu, Penulis tidak bisa memastikan apakah kedua negara memiliki tujuan nasional untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya atau tidak.
Beruntunglah kita. Selain memiliki Pancasila yang termaktub di alinea keempat Pembukaan UUD 1945, di alinea yang sama tercantum pula dengan megah tujuan nasional kita yang pertama, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Untuk konteks kekinian melindungi yang dimaksud termasuk melindunginya dari terpapar Covid-19 dan terkapar (meninggal) karena Covid-19.
Hebatnya lagi, di bagian batang tubuh konstitusi kita itu tertera pula turunannya yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk hidup (Pasal 28A) dan hak untuk hidup itu tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28I), termasuk oleh Pilkada 2020.”
Jelaslah, pernyataan kedua pemimpin Afrika di atas memastikan mereka meletakkan keselamatan rakyat di atas segalanya (Salus populi suprema lex esto), bukan membawa mereka “hidup penuh bahaya” atau “hidup menyerempet bahaya” (vivere pericolosamente).
Bisa disebutkan, poin paling penting dan paling utama dari pernyataan mereka adalah “Negara hadir bagi rakyatnya.”
Sebagai penutup, Penulis mengajak para pemimpin kita untuk tidak malu-malu meneladani kedua pemimpin Afrika itu. Jangan melihat ajakan ini berasal dari seorang papa seperti penulis.
Kecil-kecil begini, pada 1 Juli 2014, karena perbedaan pandangan dan prinsip, Penulis bersama beberapa pengurus inti sayap partai berani ke luar dan meninggalkan kursi bergengsi yang sudah sempat kami duduki 2,5 tahun.
Bahkan Penulis sendiri dengan halus menolak tawaran yang disampaikan melalui Kepala Sekretariat partai tersebut untuk menjadi salah satu Ketua DPP partai yang sekarang ikut dalam koalisi.
(Penulis: Henrykus Sihaloho, Doktor dari IPB dan dosen di Universitas Katolik Santo Thomas)