Guncangan letusan gunung dan gempa menjadi tadzkirah untuk meluruskan perilaku taat kepada Allah, hidup maksiat dikurangi serta meningkatkan tanggungjawab untuk memberantas kezaliman.
Padamnya listrik juga pengingat bahwa betapa rawannya sistem jaringan kelistrikan. Apabila ada sabotase, lalu mati untuk beberapa jam yang lebih lama, maka bisa merontokkan banyak sendi. Ini perlu evaluasi dan investigasi serius. Presiden tentu tak bisa bilang “bukan urusan saya”. Di saat rawan justru instruksi dan sikap Presiden mesti jelas. Perangkat teknis dapat minta maaf, tapi kebijakan mesti jelas. Presiden harus hadir di tengah peristiwa.
Bencana atau musibah baik “alam” maupun eror “manusia” harus disikapi dengan spiritual dan langkah rasional. Sebab model padamnya listrik dapat menyebabkan “habis gelap terbitlah terang” atau “habis terang terbitlah gelap”.
Dalam konteks keagamaan ini berhubungan dengan kepemimpinan. Pemimpin “ilahiah” dimana Allah sebagai sentral maka “yukhrijuhum minadh dhulumaati ilan nuur” mengeluarkan dari gelap pada terang. Sedangkan kepemimpinan “berhala” dimana thogut lah yang jadi ikutan maka syaitan itu akan “yukhrijunahum minan nuur iladh dhulumat” mengeluarkan dari terang kepada gelap.
Sikap dan kebijakan pemimpin yang selalu mementingkan diri dan menyusahkan rakyat adalah “dark leadership” – kepemimpinan bersisi gelap yang berkarakter narsistik, machiavellis, dan psikopatik.
Pengikut syaithon. Naudzubillah. (kl/glra)
*) Penulis: M. Rizal Fadillah, Pemerhati politik dan keagamaan.