Arius, uskup dari Aleksandria, menolak ketuhanan Yesus yang menimbulkan kemarahan para pengikut Paulus. Akhirnya kaisar Konstantine menyelenggarakan Konsili (muktamar) di Nicea (Turki) pada tahun 325 Masehi. 1800 orang yang diundang untuk hadir dalam konsili ini terdiri atas 1000 orang yang berasal dari Gereja Timur dan 800 dari Gereja Barat.
Sebagian besar peserta konsili setuju pada Arius yang menganggap Yesus hanyalah seorang Nabi, ini menyebabkan sekitar 1482 orang diusir oleh Kaisar Konstanin dan hanya 318 orang yang diijinkan mengikuti Konsili hingga akhir. Dari 318 suara tersebut hanya 2 suara yang mendukung Arius.
Keputusan Konsili Nicea diambil dengan cara pemungutan suara (pemilu), dan diputuskan bahwa Yesus adalah Tuhan bukan sekedar nabi.
Dalam demokrasi dikenal sebuah perhelatan yang dikenal sebagai pesta demokrasi (pemilu). Umat Islam yang pemikirannya masih terkukung dalam jebakan demokrasi tentunya akan mengikuti perhelatan besar yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dalam Konsili Nicea, yaitu pemilu legislatif. Dalam pemilu legislatif, dilakukan pemungutan suara untuk memilih ‘Tuhan-Tuhan’ baru dari kalangan manusia yang diberikan wewenang menggantikan Alloh SWT dalam menetapkan hukum. Apa yang terjadi dalam pemilu legislatif sebenarnya lebih ironis dibandingkan dengan Konsili Nicea, mengapa?
Alasan pertama, peserta Konsili Nicea adalah orang-orang pilihan, yaitu dari kalangan uskup dan pastur, sedangkan dalam pemilu legislatif, para pemilih boleh dari kalangan apa saja, tak ada penyaringan, semua orang mempunyai kesempatan yang sama. Seorang penjahat mempunyai hak yang sama dengan seorang Kiyai. Sehingga tak heran seorang waria, gay, atau dukun sekali pun bisa terpilih menjadi anggota legislatif.
Alasan kedua, Yesus tidak pernah mengangkat/menyatakan dirinya untuk layak di-Tuhankan. Tetapi pada pemilu legislatif, para caleg berlomba-lomba menarik simpati masyarakat, seakan-akan ingin mengatakan bahwa mereka layak di-Tuhankan.
Bahkan tak jarang mereka menggunakan cara-cara yang sungguh memuakkan. Sebagai contoh, paska kecelakaan di Tol Jagorawi yang melibatkan anak dari Ahmad Dani (penyanyi), di salah satu rumah duka korban, muncul kiriman karangan bunga dari salah satu caleg lengkap dengan nama dan daerah tempat pemilihannya. Dalam kondisi berduka, bisa-bisanya dimanfaatkan untuk alat berkampanye.
Belum lagi para caleg yang datang ke tempat-tempat yang dianggap keramat, meminta pentunjuk dengan melakukan ritual-ritual syirik agar terpilih menjadi anggota legislatif.
Ada juga yang melakukan perampokkan untuk mengumpulkan dana kampanye.
Sungguh manusia telah terjun ke derajat yang terendah melalui sistem demokrasi ini.
Sangat mencengangkan dan memprihatinkan ketika melihat fakta bahwa sebagian umat Islam mengulangi kembali apa yang telah terjadi di dalam sejarah kekristenan yang kelam seperti yang terjadi di Konsili Nicea 325 M. Akan kah kita terus terperosok ke lubang biawak yang terdalam? Ataukah kita mulai sadar dan bangkit, meraih setiap pijakan untuk keluar dari lubang biawak yang bernama demokrasi itu?
Wallâhu a’lam bi ash-shawâb
Mantan Penganut Katholik
(Klender-Jakarta Timur)