Pemilu parlemen di Israel tinggal dua hari lagi. Polling-polling di Israel menunjukkan pimpinan Partai Likud, Benjamin Netanyahu berada di atas angin dan dipekirakan partainya akan memenangkan mayoritas kursi di parlemen yang akan mengantarkannya menjadi perdana menteri Israel yang baru.
Namun bagi dunia Arab dan Palestina khususnya, siapapun yang akan memimpin Israel setelah pemilu tidak akan banyak membawa perubahan bagi proses perdamaian Timur Tengah. Para kandidat perdana menteri saling menonjolkan diri sebagai orang yang menolak perdamaian dengan Palestina dan Timur Tengah dan lebih mementingkan kepentingan Zionis, karena itulah yang akan menjadi kunci kemenangan mereka.
Benjamin Netanyahu, salah satu kandidat terkuat, jelas-jelas menolak proses perdamaian dengan Palestina.
"Rakyat Israel sudah muak dengan proses perdamaian, dengan eksperimen-eksperimen. Mereka menginginkan pemimpin yang bisa menghentikan tembakan roket, mereka ingin kembali ke masa di awal tahun 90’an sebelum masa Presiden Shimon Peres dan mantan perdana menteri Yithzhak Rabin memulai semua eksperimen proses perdamaian ini," kata Ze’ev Khanin, analis poltik di Universitas Bar-Ilan, dekat Tel Aviv.
Sosok Netanyahu, 59, yang pernah menjadi perdana menteri dan menteri keuangan Israel, sejak dulu menentang perdamaian dengan Palestina. Jika terpilih sebagai perdana menteri Israel yang baru, bisa dipastikan proses perdamaian di Timur Tengah, bukan hanya Palestina, akan mengalami kemunduran.
Belum apa-apa, Netanyahu sudah menegaskan hanya bersedia bernegosiasi dengan Presiden Mahmud Abbas dan negosiasi hanya akan difokuskan pada upaya peningkatan kondisi perekonomian dan keamanan di Tepi Barat untuk kepentingan Israel, sementara kepentingan rakyat Palestina diabaikan. Sebagai contoh, Netanyahu tidak menegosiasikan solusi untuk para pengungsi Palestina yang ingin kembali tanah airnya dan tidak mau mengembalikan wilayah Palestina di Tepi Barat yang selama ini dicaplok Israel.
Netayahu juga menegaskan, jika terpilih nanti tidak akan menyerahkan dataran tinggi Golan pada Suriah. Padahal PBB sudah meminta Israel untuk menarik diri dari wilayah Golan dan menyerahkannya pada Damaskus. Israel merampas wilayah Golan dari Suriah pada Perang Enam Hari tahun 1967.
"Golan tidak akan pernah terbagi, Golan tidak akan jatuh lagi ke tangan orang lain, Golan akan tetap berada di tangan kita," kata Netanyahu yang juga bersumpah akan menghapus Hamas.
Sikap Netanyahu ini juga akan menimbulkan persoalan bagi sekutu Israel, AS. Karena Presiden Barack Obama mendukung solusi dua-negara atas konflik Israel-Palestina. Perbedaan tajam juga terjadi terkait hubungan dengan Iran. Netanyahu menginginkan kebijakan kekerasan terhadap Iran, sementara AS dibawah Obama menyatakan bersedia bernegosiasi.
Sejumlah analis politik di Israel juga tidak percaya dengan pernyataan Netanyahu yang katanya ingin menjalin koalisi dengan partai saingannya, Partai Kadima.dan Partai Buruh untuk meminimalkan kemungkinan friksi dengan AS.
"Dia (Netanyahu) tidak akan membangun koalisi sayap kiri yang murni. Dia akan membangun pemerintahan yang lebih terpusat," kata Shmuel Sandler, analis dari Universitas Bar Illan.
Bagaimana dengan Tzipi Livni, menteri luar negeri Israel yang menjadi kandidat kuat perdana menteri dari Partai Kadima? Setali tiga uang dengan Netanyahu. Meski berada dalam satu pemerintahan, menjelang pemilu dua hari mendatang, Livni berusaha agar dirinya tidak diasosiasikan dengan kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan perdana menteri Israel Ehud Olmert, terutama kebijakan melakukan negosiasi damai dengan Palestina.
"Setiap perdana menteri memilih caranya sendiri-sendiri, apa yang dia (Olmert) pilih, bukan pilihan saya. Saya tidak ada hubungannya dengan kebijakan-kebijakan itu," kata Livni pada radio Israel.
Livni juga tidak mau disebut-sebut dirinya berperang dalam negosiasi langsung antara Israel dengan Suriah lewat mediasi Turki.
Disamping Netanyahu, Ehud Barak dan Tzipi Livni yang bersaing ketat untuk memperebutkan kursi perdana menteri Israel, ada satu lagi tokoh di Israel yang dipekirakan akan mendapatkan suara dari kalangan pemilih yang belum memutuskan pilihannya. Tokoh itu adalah Avigdor Lieberman, seorang imigran Yahudi dari Soviet yang saat ini mengetuai Partai Yisrael Beitenu.
Hampir serupa dengan kandidat-kandidat lainnya, Lieberman cenderung bersikap diskriminatif terhadap warga Arab di Israel dan sikapnya itu mendapat dukungan dari kalangan ultra nasionalis di Israel. Dalam kampanyenya, Lieberman mengusung tema "Tidak Ada Kewarganegaraan Tanpa Loyalitas" yang ditujukan untuk warga Arab di wilayah Israel. Akibat tema kampanyenya itu, Lieberman dituding sebagai politisi yang rasis dan fasis.
Salah satu orang terdekat Lieberman juga mengatakan, Lieberman akan menolak kesepakatan peta jalan damai antara Israel-Palestina dan menolak negosiasi penarikan mundur Israel dari dataran tinggi Golan.
Para analis memperkirakan, dukungan yang cukup besar terhadap Lieberman, terutama dari kaum muda Israel akan menjadikan Partai Yisrael Beitenu yang dipimpinnya menjadi partai ketiga terbesar yang akan menguasai kursi parlemen setelah Partai Likud dan Partai Kadima.
"Lieberman dipandang sebagai seorang tokoh yang kuat dan generasi muda mencari figur laki-laki yang kuat untuk memimpin Israel.
Itulah gambaran akan seperti apa kebijakan Israel usai pemilu tanggal 10 Februari lusa. Sebagian besar media massa Arab mengulas prospek hasil pemilu ini dengan nada pesimis. Para kandidat perdana menteri berlomba-lomba menunjukkan sikap antipatinya terhadap Palestina dan perdamaian di Timur Tengah untuk merebut hati rakyat Israel.
Itu artinya, bagi dunia Arab dan Islam, siapun yang memimpin Israel sama saja, tidak akan memberikan angin perubahan yang lebih damai bagi Palestina dan kawasan Timur Tengah. Di belakang para kandidat itu ada kekuatan Zionisme Internasional yang tetap ingin mempertahankan negara Zionis Israel dan ambisi mereka untuk membangun Israel Raya. (ln/haaretz/prtv/aby)