Setelah diadakan pertemuan Tengku Daud Beureueh, Ulama Pusa dan DPRD, akhirnya Aceh menerima jalan kompromi yang ditawarkan pemerintah pusat, yaitu setuju pembentukan provinsi sendiri yang terpisah dengan Sumatra Uatara, melalui mekanisme dan prosedur yang ada, karena pemerintah masih terikat dengan perjanjian antara RIS dan RI, Ini hanya bisa diubah dengan UU, maka memerlukan waktu.
Apa yang dilakukan oleh M. Natsir dalam menangani persoalan Aceh ini dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah Jokowi sekarang ini. Natsir siap meletakkan jabatannya sebagai perdana menteri kalau gagal mendamaikan Aceh. Kepribadian seperti itu harus tertanam dalam diri pemerintah sekarang.
Apa yang dilakukan Perdana Menteri Natsir dengan turun langsung memperudingkan masalah Aceh adalah merupakan sikap pemimpin yang mau menyelesaikan konflik, bukan seperti sekarang ini, setengah hati menangani masalah Papua.
Penanganan konflik lokal tidak bisa di serahkan kepada pemerintah daerah. Apalagi kelompok separatis tidak lagi berkompromi dengan pemerintah dan mereka ingin keluar dari NKRI dengan alasan membentuk negara sendiri (merdeka). Artinya, tidak ada pintu untuk dialog lagi, seyogyanya untuk melindungi warga negara pendatang di daerah itu pemerintah harus mengerahkan kekuatan militer.
Konflik Papua sudah melewati komunikasi yang panjang, namun pemerintah pusat tidak serius melakukan perubahan-perubahan, hingga akhirnya pintu dialog antara Papua dan Jakarta tertutup. Kemarahan orang Papua itu bukan lagi kemarahan vertikal (pemerintah pusat), melainkan sudah menjadi kekejaman rasial (horizontal) antara orang Papua asli dengan pendatang atau dengan kata lain “perang” antar warga negara.
Sudah 32 orang meninggal dari suku bugis dan minang menjadi korban pembantaian etnis. Sementara negara masih sibuk mengurus demonstrasi mahasiswa. Pemerintah hanya sibuk urus kekuasaannya, sementara persatuan dan kemanusiaan yang mengancam NKRI tutup oleh kabut asap ban dan gas air mata untuk mempertahankan kekuasaan.
Negara Alpa
Rakyat Indonesia meminta pertanggungjawaban pemerintah atas keamanan mereka dalam negara. Kenapa pemerintah tidak hadir? Apakah pemerintah tidak melihat pembantaian itu?
Pemerintah terlalu sibuk untuk mengurus kursi kekuasaan. TNI sebagai kekuatan penjaga NKRI Ikut sibuk pula dalam mengawal kursi kekuasaan itu dengan mengancam siapa saja yang ingin menggagalkan pelantikan presiden. Siapa yang ingin menggagalkan pelantikan Presiden?
Sementara persoalan yang mengancam kedaulatan bangsa dan membuat tercabik-cabiknya NKRI, TNI tidak memiliki sikap apapun, sehingga kita patut bertanya, kepada siapa kita meminta pengamanan?
Rakyat Indonesia di Papua, ribuan orang di Wamena dalam keadaan terancam oleh gerakan separatis. Kenapa negara dalam hal ini Presiden, Para Menteri, TNI, Kepolisian, tidak memiliki sikap dan langkah apapun untuk memberikan keamanan kepada warga negara yang terancam nyawanya?
Saya sendiri menyayangkan absenya pemerintah pusat dalam melindungi warga negara. Begitupun dengan Din Syamsuddin yang juga menyesalkan respon aparat keamanan dan penegakan hukum sangat lamban dan tidak adil. Menurut Din Syamsuddin, dapat disimpulkan bahwa negara tidak hadir membela rakyatnya. Negara gagal menjalankan amanat konstitusi yakni melindungi rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Hal senada juga disampaikan oleh Syahganda Nainggolan yang menyebutkan bahwa pemerintah Jokowi tidak hadir dalam persoalan kemanusiaan di Wamena Papua dan, telah disibukkan oleh persoalan demonstrasi di Jakarta. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah Jokowi Lalai dalam melindungi warga negara dan Alpa dalam setiap persoalan bangsa.
Separatis Melanggar HAM
Gerakan Papua Merdeka bukan lagi sebatas jargon, bendera Bintang Kejora bukan lagi sebatas bendera adat, tetapi itu sudah menjadi lambang separatisme di Indonesia.