Natsir sebagai perdana menteri dan KH Masjkur beserta rombongan, mengunjungi Kutaraja (Banda Aceh) pada tanggal 22 hingga 23 Januari 1951, Untuk berdialog dengan Gubernur Aceh Tengku Daud Beureueh, Ulama PUSA dan anggota DPRD Aceh serta rakyat Aceh.
Dalam dialog yang berujung kebuntuan atau dek lock, karena Aceh tetap pada pendiriannya yaitu tetap provinsi sendiri yang terpisah dari Sumatra Utara. Dalam kebuntuan tersebut, Akhirnya Natsir menyampaikan kepada Tengku Daud Beureueh, besok saya balik ke Jakarta dan segera menghadap Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno, untuk mengembalikan mandat sebagai perdana menteri, karena telah gagal untuk mencapai kesepakatan antara pemerintah pusat dengan saudara-saudaraku di Aceh.
Daud Beureuh heran dengan pernyatan Natsir tersebut dan menanyakan alasan kenapa dia mengembalikan mandat kepada presiden. Natsir menjelaskan, karena saya gagal mencapai kesepakatan antara pemerintah pusat dan saudara-saudara di Aceh. Sebab, kalau Aceh berkeras dan pemerintah pusat juga bersikeras, maka pemerintah pusat akan mengambil tindakan tegas, termasuk mengirim pasukan tentara apabila Aceh tetap dengan pendiriannya.
“Saya tidak mau menyaksikan peristiwa “perang saudara” tersebut karena Aceh telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam mendukung proklamasi dan mempertahankan negara proklamasi, dan saya tidak ingin itu terjadi saat saya menjabat perdana menteri,” kata Natsir.
Mendengar ucapan itu Tengku Daud Beureueh, terdiam dan tertekun sejanak, setelah dengan tarikan nafas panjang, dia meminta kepada Natsir untuk menunda kepulangannya beberapa hari, karena Daud besok akan segera mengumpulkan ulama Pusa dan DPRD untuk membicarakan permasahan ini.