Nubuat tentang lima kerajaan itu kemudian dipegangi oleh Bani Israel, yang waktu itu tengah dikuasai Babilonia, sebagai kabar gembira dari Allah Ta’ala. Mereka selalu menunggu kehadiran “kerajaan kelima” yang menghancurkan kerajaan-kerajaan pagan musyrik. Apalagi mereka memang selalu dijajah dan dizhalimi oleh berbagai kerajaan itu.
Kabar-kabar nubuat yang disampaikan para nabi Bani Israel, di antaranya dalam Kitab Yesaya, menunjukkan bahwa kerajaan kelima akan dipimpin oleh “pangeran perdamaian” yang memiliki stempel kenabian di pundaknya. Semua ciri dan tanda yang dikisahkan para nabi itu tiada lain merujuk kepada Islam yang disempurnakan oleh Muhammad saw.
Keyakinan ini turun-temurun dikisahkan dan kehadirannya selalu dinantikan. Bahkan Kaisar Hiraklius, raja Romawi Timur yang mendengar sifat-sifat Rasulullah dari keterangan Abu Sufyan (waktu itu masih kafir dan memusuhi beliau), segera berkata “Telah muncul rajanya umat yang dikhitan.”
Kepada Abu Sufyan, Hiraklius menambahkan, “Kerajaannya akan mencapai pijakan kedua kaki saya.” Seolah sang kaisar telah membaca pertanda bahwa kerajaannya akan dikuasai oleh kaum Muslimin.
Kelak, ketika Hiraklius harus meninggalkan Syam (kini Suriah) karena dikalahkan pasukan Islam, ia berujar sedih, “Selamat tinggal Suriah, inilah perpisahan yang tak akan ada lagi pertemuan lagi setelahnya.”
Dipelintir
Namun, kearifan Hiraklius tak dimiliki oleh kaumnya, Bani Israel. Kerajaan kelima yang menguasai bumi itu ditakwilkan berbeda oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi.
Kaum Nasrani menakwilkan bahwa kerajaan kelima adalah Millenium turunnya Al-Masih. Sementara kaum Yahudi menafsirkan bahwa kerajaan itu adalah kerajaan Daud yang dipimpin sang Mesias putra Daud. Untuk memperkuat takwil itu mereka menyatakan, “Ada jeda waktu dalam Nubuat Daniel.”
Jeda waktu menurut mereka ini aneh. Jarak antara kepala sampai kedua betis –antara masa Babilonia dan Roma, sejak Nebukadnezar wafat hingga Kaisar Titus menguasai Al-Quds- kira-kira enam abad. Namun mereka tak sudi menerima bahwa betis hingga telapak kaki adalah Romawi Barat dan Timur, sementara batu yang menggilasnya adalah Kerajaan Islam.
Menurut mereka ada jeda 1000 tahun antara betis dan telapak kaki. Sungguh gambaran yang aneh bin ajaib, bagaimana mungkin panjang kepala hingga betis 600 tahun, sementara panjang betis hingga telapak kaki malah 1000 tahun? Tentu bentuk patungnya sangat tak proporsional.
Padahal impian itu turun pada Nebukadnezar, seorang paganis penyembah patung. Bentuk berhala para paganis selalu memperhitungkan proporsi. Seni patung zaman itu belum mengenal bentuk abstrak dan aneh-aneh yang tak proporsional, seperti karya Dali dan Picasso misalnya.
Alasannya sederhana, Bani Israel tak sudi menerima bahwa kerajaan kelima yang dinantikan justru di bawah pimpinan Bani Ismail. Seperti diketahui, Muhammad saw adalah keturunan Ibrahim as dari jalur putranya Ismail. Berbeda dengan Bani Israel yang lahir dari keturunan Israel alias Ya’qub as.
Meski suka memelintir wahyu Allah kepada para nabi mereka, Bani Israel selalu menjadikan kabar-kabar itu sebagai patokan dalam politik mereka. Di Yatsrib, nama jahiliyah Madinah, mereka selalu mengancam orang-orang Aus dan Khazraj dengan kedatangan nabi terakhir yang sedang ditunggu-tunggu.
Setiap kali berselisih dengan kaum Arab, Yahudi Yatsrib selalu mengancam, “Tunggu sampai nabi terakhir kami datang. Pasti kami akan mengalahkan dan mengusir kalian!”
Ironisnya, setelah Rasulullah saw betul-betul datang, mereka justru mendustakan dan mengingkarinya. Kesombongan dan kekufuran mereka telah melampaui batas sehingga Allah menghinakan mereka melalui Rasulullah dan kaum Muslimin. Justru Suku Aus dan Khazraj menjadi kaum Anshar yang menyertai Nabi, mengalahkan dan mengusir kaum Yahudi dari Madinah.
Demikian pula dengan nubuwah Daniel, Bani Israel memelintirnya namun tetap menggunakannya sebagai kabar gembira kemenangan mereka di akhir zaman. Sebuah harapan kosong yang sia-sia. (Bersambung)