Pembubaran FPI, Penegakan Hukum Tanpa Keadilan

2. Kepada pembuat web dan kontennya (uploader) kemudian dimintakan untuk mengklarifikasi kebenaran (otentisitas) konten yang ada pada website tersebut disertai dengan bukti-buktinya;

3. Apabila web dan kontennya adalah palsu maka pelaku pembuat website ini harus dimintai pertanggungjawaban hukum melalui proses peradilan dengan dasar hukum bahwa ia telah melakukan perbuatan pornografi dan penyebaran fitnah melalui dunia maya.

Celakanya, apa yang dilakukan polisi justru sebaliknya. Polisi mempertontonkan kenaifan tanpa malu-malu di hadapan publik, yang seolah-olah seluruh warga negara buta hukum sehingga tidak mampu mengidentifikasi proses penegakan hukum yang fair-play.

Tidak ada alasan pembenar bilamana subjek hukum yang dimintakan pertanggungjawabannya justru orang yang menjadi korban fitnah oleh web tersebut, yakni HRS. Inilah sebenarnya esensi kasus ini.

FPI pun Dibubarkan

Tidak cukup sampai disini saja, pada 30 Desember 2020 ini pemerintah pun secara resmi menghentikan kegiatan dan membubarkan organisasi Front Pembela Islam (FPI). Keputusan pemberhentian ini tergolong berlebihan dengan Keputusan Bersama Menteri-Menteri Negara, Kapolri, dan Jaksa Agung, yakni Mendagri Tito Karnavian, Menkum HAM Yasonna Laoly, Menkominfo Johnny G Plate, Kapolri Idham Azis, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafly Amar dalam SKB Nomor 220/4780 Tahun 2020, Nomor M.HH/14.HH05.05 Tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII Tahun 2020, dan Nomor 320 Tahun 2020 tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI.

​Di mata penguasa negara saat ini, tampaknya FPI sangat istimewa sebagai organisasi yang dianggap musuh negara. Dengan berdalihkan, antara lain, FPI memiliki aktivitas yang mengganggu masyarakat dan terbukti terafiliasi dengan ISIS, serta tidak memperpanjang izinnya, menjadi dasar pembubarannya. Kelompok non-Islam anti FPI serta-merta berteriak girang tanda kemenangannya. Mudah-mudahan bubarnya FPI tidak menjadi peluang Gerakan Islamophobia mendapatkan anginnya di negeri ini.

​Apa pun alasannya, tampak sekali bahwa pemerintah mengambil langkah komprehensif untuk menghabisi setiap potensi kekuatan yang dimiliki HRS dalam menjalankan kegiatan mengontrol pemerintahan.

Dengan bubarnya FPI dipersepsikan bahwa HRS tidak memiliki kendaraan yang terorganisir lagi dalam memobilisasi massa. Sayangnya, pemerintah melupakan satu hal, bahwa ketidakadilan dalam praktek penyelenggaraan negara dan penegakan hukum tidak sekedar berhadapan dengan FPI.

Pesan Sederhana

Apa yang bisa disampaikan disini adalah bahwa langkah penegakan hukum terhadap HRS ini sama sekali di luar nalar hukum dan kebenaran objektif. Polisi dengan senyatanya tidak lagi peduli dengan kebenaran materiil dan sebagainya, oleh karena tujuan sebenarnya adalah menangkap dan menahan HRS.

Kasus demi kasus ini sebenarnya menjadi contoh bagi publik bahwa betapa kepolisian merupakan institusi negara yang bertindak dengan memaksakan kehendak dalam menjerat seorang warga negara agar dapat dipidana, sekali pun tanpa perbuatan melawan hukum.

Kepolisian melakukan tindakan menghukum tanpa prosedur hukum yang benar (due process of law) sehingga mengingkari tujuan penegakan hukum itu sendiri, yakni kepastian hukum dan keadilan. Pertanyaannya, untuk apa penegakan hukum tanpa keadilan? Mubazir!

Semua orang kini menyadari bahwa pesan di balik kasus ini sangatlah sederhana. Siapa pun yang memiliki kaliber seperti HRS, memiliki pengikut besar, dapat mempengaruhi persepsi publik untuk mendelegitimasi penguasa, akan bernasib sama dengan HRS. Hukum hanya dijadikan alat legal formal untuk mensahkan perampasan hak asasi warga negara yang selalu berekspresi menyerukan ketidakadikan negara.

Siapa pun memahami pula bahwa tiada gunanya menegakkan hukum dengan cara memelintir hukum dan menghasilkan ketidakadilan. Jika fenomena ini terus berlangsung maka hukum tidak lagi ditujukan untuk menciptakan ketertiban sosial melainkan akan berujung pada kekacauan.*[FNN]

Penulis: Sugito Atmopawiro, Kuasa Hukum Habib Rizieq Shihab.