Pembubaran FPI, Penegakan Hukum Tanpa Keadilan

Eramuslim.com – PENYELIDIKAN kasus pembunuhan terhadap 6 (enam) laskar FPI oleh polisi pada 7 Desember lalu sudah nyaris terungkap. Kepolisian yang melakukan tindakan membunuh tanpa alasan hukum (unlawful killing) tersebut sebentar lagi akan dinyatakan sebagai pelanggar HAM berat oleh negara. Pelaku dan pemberi perintahnya tentu saja akan dimintakan pertanggungjawaban hukumnya, jika tidak oleh peradilan HAM domestik, ya, seyogyanya oleh peradilan pidana internasional (International Justice Court).

Di tengah situasi inilah tindakan pengalihan isu (deception) dilakukan. Tiba-tiba saja tanpa ada angin, kasus sumir dan aneh tahun 2017 yang menimpa HRS kembali digelar. Kasus yang dilatari laporan polisi nomer LP/510/I/2017/PMJ/Ditreskrimsus oleh Jefri Azhar, atas beredarnya percakapan palsu seolah antara FH dan HRS di website bodong, www.baladacintarizieq.com.

Sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Sejak kasus penembakan lascar FPI, upaya menghentikan Langkah dan kiprah HRS terus dilakukan. Menyusul PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII melayangkan somasi kepada HRS agar segera mengosongkan tanah di Megamendung, Bogor, Jawa Barat yang kini dimanfaatkan sebagai Pondok Pesantren (Ponpes) Agrokultural Markaz Syariah, dan FPI diwacanakan untuk dibubarkan, kasus chat porno ini pun diungkap lagi. Seluruh permasalahan aneh ini terkait.

Sulit dipahami mengapa kemudian HRS sebagai korban fitnah keji justru ditetapkan sebagai tersangka pada 29 Mei 2017 atas beredarnya konten porno yang dipastikan palsu di website tersebut. Uniknya, HRS dipersangkakan dengan Pasal 4 ayat (1) juncto Pasal 29 dan/atau Pasal 32 UU RI No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan/atau Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) UU RI No 19 Tahun 2016 atas Perubahan UU RI No 11 Tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Norma-norma hukum yang sejatinya dialamatkan kepada pembuat konten dan website tersebut.