by M Rizal Fadillah
Jokowi adalah penyandera, penjajah dan penjahat. Hampir semua menteri dan aparat berada di bawah kendali dirinya. Ia bukan sekedar seorang Presiden tetapi boss mafia. Cara kerja mafia digunakan untuk menundukkan lawan dan kawan politiknya. Jokowi bukan profil negarawan tetapi penipu, pembohong dan dajjal munafikun.
Sekelas Prabowo mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad mati kutu seperti kerbau dicocok hidungnya. Setelah jadi Presiden kabinetnya diatur-atur, dipanggil ke Solo untuk menghadap, menutup mata atas cacian dan hinaan anaknya. Pura-pura tak peduli Fufufafa. Bahlil menjadi bahlul mewanti-wanti agar tidak berurusan dengan Raja Jawa. Bahlil seperti menggambarkan Jokowi itu dedemit atau genderuwo yang menakutkan.
Ketum Partai bertekuk lutut tidak berani mengangkat muka. Setelah Nasdem terakhir PKS yang bersujud ikut memuji keberhasilan Jokowi. Jangan tanya PAN, PKB atau PPP. Golkar jauh lebih dulu. PDIP yang menciptakan monster Jokowi, setelah dikhianati juga tidak berdaya untuk melawan. Mengecam sebentar kemudian berbasa-basi, menghindar untuk berurusan serius. Ketua DPR Puan Maharani dalam cengkeraman, sekurangnya tersandera.
Pasca lengser dari jabatan Presiden 20 Oktober 2024 jaringan laba-labanya tetap dibuat dan dipasang. Masih berusaha untuk menguasai semua. Lucu, menteri menteri Prabowo masih sowan dan minta nasehat ke Solo. Jokowi permanen sebagai boss mafia. Memilih mana yang harus dihabisi dan dipertahankan. Ada tiga nama yang sedang dicoba untuk ditundukkan yaitu Tom Lembong, Said Didu, dan Hasto Kristiyanto.
Tom Lembong ditersangkakan dalam kasus kebijakan impor gula, kebijakan yang sebenarnya sama dengan yang dilakukan oleh menteri-menteri perdagangan lainnya bahkan dengan tonase yang jauh lebih besar. Tom dikriminalisasi untuk memukul Anies Baswedan. Tom melawan meski ditahan. Ia nyatakan kebijakan impor gula itu atas sepengetahuan atau menjalankan perintah Jokowi.
Said Didu dilaporkan oleh Kades Belimbing yang membela Aguan dalam pembangunan PIK 2. Tuduhan melanggar UU ITE dinilai mengada-ada, yang jelas itu adalah upaya untuk meredam sikap kritis Didu yang lantang membela rakyat dari penggusuran dan pembelian tanah rakyat dengan harga murah. Said Didu “manusia merdeka” melawan Aguan pengusaha peliharaan Jokowi. Mediasi yang ditawarkan ditolak Didu mentah-mentah.
Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP diperiksa kasus Harun Masiku ceritra hukum lama sebagai tabungan politik baru. Wawancara terakhir dengan Connie Rakahundini menyulut semangat Hasto untuk siap melawan Jokowi dan pasukan “partai coklat” nya Listyo Sigit. Hasto siap membongkar peran Jokowi dalam menghalangi Anies Baswedan pada Pilgub Jakarta.
Jika ketiga tokoh tersebut serius melawan kejahatan rezim dengan terus membongkar konspirasi Jokowi dalam menipu dan membodohi rakyat, maka benih pemberontakan telah ditaburkan. Akan tumbuh membesar bersama semangat rakyat yang sudah lama jengkel dan muak pada perilaku politik Jokowi dan kroninya.
Jokowi tidak cukup turun dari jabatan, karena faktanya meski tidak menjabat sebagai Presiden ia masih mampu menguasai semua. Jokowi harus dibuat tidak berdaya, ditumbangkan, dan diadili agar dapat mempertanggungjawabkan kejahatannya.
Jokowi adalah sumber masalah, selama Jokowi leluasa bertindak maka masalah bangsa ini akan terus membelit.
Pemberontakan tokoh telah dimulai. Dari orang dekat hingga oposisi. Tom, Didu, dan Hasto menggebrak. Anies dengan aksi dukung Pram-Doel melakukan perlawanan pula. Gumpalan oposisi akan semakin berani untuk menggergaji Jokowi.
Selama Jokowi masih merajalela jangan harap negara akan berjalan normal. Sikap yang paling bijak adalah dengan segera menghentikan langkahnya.
Penghentian itu secara revolusioner.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 25 November 2024