Pemakzulan mempunyai prinsip demokrasi karena sudah berkonotasi hukum. Prinsip keabsahan “Rechmatigheid” diatur oleh, Pasal 7A UUD 1945 menetapkan alasan-alasan pemakzulan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya, yaitu: “…baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden.”
Pasal 7B UUD 1945, usul pemberhentian Presiden dapat diajukan oleh DewanPerwakilan Rakyat (DPR) kepada MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum.
Pemakzulan dalam sistem demokrasi di Indonesia menganut dua tradisi besar gagasan negara hukum di dunia, yaitu negara hukum dalam tradisi eropa kontinental yang disebut “rechtsstaat” dan negara hukum dalam tradisi anglo saxon yang disebut “rule of law”. Perjuangan menentang absolutisme bersifat ” “revolusioner”, sebaliknya konsep “rule of law” berkembang secara “evolusioner”. Konsep “rechtsstaat”bertumpu pada sistem hukum yang disebut “civil law” (administratif), sedangkan “konsep rule of law” bertumpu pada sistem hukum yang disebut “common law” (judicial).
Oleh sebab itu pemakzulan Presiden mempunyai konotasi politik hukum dalam sistem demokrasi diIndonesia, salah satunya terlihat dengan adanya Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai pengadilan administrasi negara.Sedangkan unsur negara hukum dalam “rule of law” terlihat dengan adanya jaminan konstitusional mengenai kesamaan kedudukan dalam hukum (equality before the law). (*)
Oleh: Nazar El Mahfudzi
Pengamat politik