by M Rizal Fadillah
Semangat pemakzulan Jokowi semakin menggelora. Meski Pilpres telah memasuki tahap kampanye dimana agenda debat Capres perdana baru saja dilaksanakan, namun kekhawatiran akan brutalnya cawe-cawe Jokowi sebagai Presiden untuk sukses pasangan anaknya menyebabkan pemakzulan tetap menjadi isu dan opsi. Narasinya Pemilu tanpa Jokowi.
Menarik analisis Eep Saefulloh Fatah dalam salah satu acara di Bandung yang menyatakan bahwa terdapat empat krisis pemerintahan Jokowi yaitu krisis moral, krisis politik, krisis kebijakan, dan krisis elektoral. Satu bonus menurutnya adalah krisis konstitusional. Mengingat krisis yang bersifat multi dimensional itu maka Eep Fatah mulai bersemangat melakukan perlawanan atau berjuang untuk “mengalahkan Jokowi”. Makzulkan Jokowi.
Hanya saja Eep skeptis bahwa pemakzulan dapat dilakukan sebelum Pilpres 14 Februari 2024. Bukan soal waktu pendek yang menjadi alasan skeptisme melainkan faktor substansial yang menurut Eep ada dua hal, yaitu :
Pertama partai-partai politik khawatir pemakzulan akan mengganggu pentahapan Pemilu sehingga jika terjadi penundaan maka Jokowi memperpanjang kekuasaan.
Kedua, terjadi anarkisme yang menyebabkan keluarnya dekrit “darurat sipil” yang justru akan memperkuat kedudukan Jokowi sebagai Presiden.
Eep ujungnya menyatakan bahwa Jokowi akan dimakzulkan sebelum habisnya masa jabatan 20 Oktober 2024. Ia juga masih percaya dalam Pilpres Prabowo-Gibran “bisa dikalahkan”. Ini menurutnya sebagai akibat dari krisis elektoral.
Sebenarnya agak kabur pandangan antara Prabowo Gibran sebagai representasi Jokowi yang “bisa dikalahkan” dengan pemakzulan sebelum 20 Oktober 2024. Jika Prabowo Gibran memang kalah ya buat apa Jokowi harus dimakzulkan lagi ? Eep tidak mengaitkan dengan kemungkinan curang Jokowi.
Pemakzulan harus dilakukan sebelum Pilpres 2024 karena :
Pertama, agar terhindar dari Pilpres curang yang dimainkan Jokowi demi sukses Prabowo Gibran. Semua “elemen negara” mampu dikendalikan oleh Presiden termasuk gelontoran uang haram para pengusaha.
Kedua, mencegah keterpilihan dari kelanjutan rezim Jokowi yang rusak di berbagai bidang baik ekonomi, politik, hukum maupun agama. KKN dipastikan akan semakin merajalela. Warisan buruk rezim Jokowi sulit untuk diubah oleh pelanjut.
Ketiga, pemakzulan segera adalah awal pembebasan elemen politik, termasuk partai politik, dari penyanderaan Istana. Budaya politik sandera harus ditumpas. Pemakzulan Jokowi lebih cepat adalah deklarasi kemerdekaan.
Keempat, pemakzulan sebelum Pilpres meringankan beban dan tanggung jawab Presiden terpilih. Apalagi jika Jokowi diproses hukum dan dipenjara. Presiden hasil Pemilu dapat memimpin rekonstruksi bangsa dengan lebih leluasa.
Kelima, pemulihan kedaulatan rakyat dapat ditata lebih dini. Pilpres adalah awal pengokohan fondasi untuk arah kiblat yang telah diperbaiki. Rakyat menggeliat. Spirit untuk kembali ke UUD 1945 asli dapat direalisasikan.
Bahwa pemakzulan sebelum Pilpres dapat memicu konflik dan anarkisme ternyata tidak memiliki fakta empirik. Peristiwa “pemakzulan” Soekarno dan Suharto melalui “people power” tidak menciptakan darurat sipil. Tidak ada perpanjangan jabatan dengan konsepsi darurat sipil tersebut. Soekarno diturunkan oleh MPRS dan Soeharto mengundurkan diri.
Pemakzulan yang dilakukan pasca Pilpres adalah keterlambatan. Menunggu prediksi curang Pilpres terbukti dahulu justru membuka konflik dahsyat yang terjadi akibat pro kontra hasil Pilpres. Chaos dan anarkisme terbuka selama Jokowi masih memimpin demokrasi yang termanipulasi.
Mengalahkan Jokowi bukan pasca Pilpres tetapi sebelumnya. Indonesia aman dan damai serta selamat jika Jokowi makzul sebelum 14 Februari 2024. Pemilu itu harus tanpa Jokowi.
Konstitusi telah memanggil rakyat untuk tampil lebih peduli dan berani. Memerdekakan negeri dari penjajahan para pengkhianat demokrasi. Mereka memang harus dibasmi.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 15 Desember 2023