Eramuslim.com – JIKA dibaca secara konprehensif kisah-kisah Musa dan Firaun di dalam Al Qur’an, maka ia menggambarkan prilaku para politisi baik yang berada di atas maupun di bawah.
Yang di atas atau yang sedang berkuasa, terus berjuang bagaimana untuk mempertahankan kekuasaannya. Tabiat para penguasa sejak dulu tampaknya tidak pernah berubah, yakni selalu ingin ingin mempertahankan kekuasaan selama-lamanya.
Sementara bagi mereka yang berada di bawah, khususnya yang tertindas atau merasa diperlakukan tidak adil, akan berjuang untuk menuntut hak dirinya atau kelompoknya, dengan alasan demi ditegakkannya.
Dengan kata lain, selama keadilan belum ditegakkan, maka akan muncul tuntutan dari bawah, yang bila tidak direspon dapat berubah menjadi ancaman bagi para penguasa.
Paradigma ini muncul jika potret dibuat dengan perspektif atas vs bawah, atau penguasa vs rakyat, yang dalam bahasa Al Qur’an mereka yang berada di bawah sering disebut dengan mustadh’afin atau kelompok yang lemah.
Potret seperti inilah yang sering ditampilkan oleh para tokoh agama atau politisi yang menggunakan simbol-simbol atau idiom-idiom keagamaan yang sedang berada di kelompok mustadafin dalam perjuangannya.
Jika fenomena yang ada dipotret dengan perspektif lain seperti keberhasilan vs kegagalan, maka fenomena Musa dan Firaun akan memberikan potret yang tidak kalah menariknya, dan sarat dengan pelajaran yang bisa dipetik.