PCR Normal

Staf di bandara itu semula juga mengira kemarin tidak perlu ada PCR lagi-untuk penerbangan seluruh Jawa Bali. la sudah sempat menjawab pertanyaan saya: “sudah berlaku” la masih dalam perjalanan ke bandara. Setiba di tempatnya bekerja ia sendiri baru tahu: masih belum berlaku. la pun menyusulkan jawaban koreksi tadi.

Begitulah. Atas dan bawah memang tidak sama. Tapi berita itu setidaknya sudah bisa membuat begitu banyak orang yang gembira. SE (surat edaran)-nya mungkin masih diketik. Tinggal dimintakan tanda tangan. Distempel. Lalu diberi nomor surat. Beres.

Mungkin SE itu akan keluar hari ini. Atau besok. Setidaknya pasti akan keluar.

Kalau tidak diralat.

Alasan untuk meralat bisa banyak. Misalnya, apakah itu tidak mengendurkan kewaspadaan? Terutama kalau dikaitkan dengan kemungkinan munculnya Covid gelombang tiga? Bukankah menurunkan ongkos PCR sudah cukup? Bukankah kita harus hati-hati?

Ongkos PCR memang sudah turun drastis: dari Rp 750.000 ke Rp 275.000. Atas perintah langsung dari Presiden Jokowi. Untuk luar Jawa dari Rp 800.000 ke Rp 300.000.

Presiden hampir selalu jadi pahlawan penurunan harga apa saja.

Saya sendiri, tahun ini, baru satu kali PCR. Rabu minggu lalu. Ketika harus ke sebuah bank di Jakarta. Untuk rapat keesokan harinya. Semua peserta rapatnya harus lulus PCR.

PCR itu saya lakukan secara drive through-di dalam kompleks Gelora Bung Karno. Sekalian makan siang di Plataran Hutan Kota yang ada di sebelahnya. Saya baru tahu: di dalam lahan GBK ternyata dibangun resto baru. Besar sekali. Indah sekali.

“Berapa?” tanya juru bayar saya. “Yang 16 jam atau 24 jam?”

Kalau hasilnya baru didapat 24 jam kemudian tentu terlambat.

“Yang 16 jam,” jawab orang saya.

“Rp 750.000, jawab petugas.

“Kan sudah turun jadi Rp 275.000,” ujar Si juru bayar.

“Itu baru berlaku besok,” jawabnya.

Berarti saya kecepetan satu hari. Ya sudah. Belum rezeki.