Pasangan AMIN dan Strategi ‘Devide et Empire’

Oleh: Shamsi Ali

Dalam beberapa kesempatan saya sering sampaikan bahwa takdir Allah menyatukan Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar bukan sekedar memiliki nilai politis yang penting. Bukan sekedar menggagalkan upaya “penggagalan” pencalonan ARB pada pilpres yang memang aromanya telah sedemikian lama kita cium. Upaya demi upaya itu telah kita cium bahkan jauh sebelum memasuki musim pilpres kali ini.

Tapi lebih dari itu takdir Allah menyandingkan Amin (Anies-Muhaimin) memiliki nilai yang lebih besar, baik bagi bangsa dan negara, terlebih khusus lagi bagi umat Islam Indonesia yang menjadi segmen terbesar dari bangsa ini. Saya sering mengatakan bahwa takdir Ilahi ini menjadi jalan keberkahan dan kebaikan bagi umat Islam terbesar dunia di bumi Nusantara.

Kita semua sadar bahwa sejak lama umat Islam Indonesia mengalami blokade untuk bangkit dan maju. Berbagai upaya dilakukan untuk mengahalangi umat untuk ini memainkan peranan besarnya demi memajukan diri dan bangsanya. Salah satu blokade yang selama ini terjadi adalah dalam bentuk “devide at empire” atau “upaya pemecah belahan” antar kelompok umat agar selalu berada pada posisi yang termarjinalkan.

Itulah yang terasa dengan sangat jelas dalam segala aspek kehidupan bernegara. Terkhusus lagi pada aspek politik dan ekonomi umat, yang kemudian berdampak pada aspek hukum, pendidikan, dan lainnya.

Selama ini upaya pemecah belahan itu paling terasa di antara segmen terbesar umat, kalangan Nahdhiyin, kelompok yang diposisikan seolah berhadapan dengan kelompok-kelompok keumatan yang lain. Tidak saja kelompok lain. Bahkan beberapa individu yang dianggap memiliki pengikut di masyarakat diposisikan seolah kontra dengan warga Nahdhiyin. Padahal individu-individu itu secara Fiqh (paham) keagamaan memiliki manhaj yang sama dengan kaum Nahdhiyin.

Bahkan di kalangan Partai yang berafiliasi keumatan, ambillah PKS sebagai contoh, sangat diidentikkan sebagai antitesis Nahdhiyin. Padahal para pembesar PKS begitu banyak yang justeru dari kalangan Nahdhiyin. Saat ini misalnya, dari Ketua Majelis Syura, Presiden, hingga ke tokoh-tokoh kunci banyak yang secara Fiqh keagamaan berafiliasi dengan Nahdhiyah. Akan tetapi upaya “devide et empire” itu sangat kental untuk memisahkan antara PKS dan PKB dan Nahdhiyin secara umum. Sehingga selama ini tumbuh persepsi jika PKS adalah Partai wahabi yang konotasinya kontras dengan manhaj Nahdhiyah.

 

 

 

 

 

Beri Komentar

5 komentar

  1. Perlu disadari bahwa bergabungnya PKB dg PKS sebenarnya hanya karena ambisi besar cak Imin ingin menjadi Cawapres andai tidak menjadi cawapres dapat dipastikan PKB tdk akan bergabung. Politik identitas sdh menjadi label ARB dimulai saat maju sebagai Cagub DKI Jakarta itu tdk bisa terbantahkan sampai sekarang. Lantas apa yg mendasari PSI disebut partai anti Islam kalau didalam kepengurusannya banyak yg muslim, jangan membelokkan fakta dilapangan hanya untuk memperoleh simpati warga Nahdiyin khususnya. Bagaimanapun Prabowo-Gibran masih terbaik diantara dua Capres-Cawapres yg lain.

    1. Sayang, anda tidak mampu membaca dg jeli karena kacamata kuda kebencian yg sejak awal anda pakai, sehingga anda tak bisa dan tak akan bisa melihat d adil. Cobalah pakai kacamata akal sehat, insyaallah anda akan bisa adil.

  2. Lupa dg sejarah perseteruan habib Rizieq dan gusdur,simpatisan masing masing tdk bisa lupa,sistem kasta kalo golongan tertentu merasa kastanya lebih tinggi 1: 70
    Kalo politik identitas sudah jelas gk sepaham gk disholatkan jenazahnya