Jujur saja, semakin hari kita semakin muak melihat kelakuan anggota DPR. Tak pernah ada satu pun berita tentang prestasi mereka untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya. Yang ada hanya berita-berita tentang kelakuan mereka yang amoral, dari pembangunan pagar gedung yang super mahal, hobi jalan-jalan keluar negeri dengan kedok studi banding, menuntut fasilitas yang mewah, gaji besar, tunjangan ini itu, selingkuh dengan sekretarisnya, berzina dengan artis, tidur atau yang lebih parah lagi nonton bokep saat sidang, membangun ruangan kantor dan gedung baru yang sama sekali tidak perlu, dan sebagainya, dan sebagainya, dan sebagainya.
Untuk menceritakan kelakuan anggota DPR sekarang, hardisk 1 terabyte saja agaknya tak cukup untuk menampungnya.
DPR sejatinya adalah Dewan Perwakilan Rakyat, sekumpulan orang yang dipilih rakyat untuk menyuarakan aspirasi rakyat, berjuang sebagai juru bicara rakyat, atau dalam istilah Bung Karno: penyambung lidah rakyat. Ini Das Sollen-nya atau yang seharusnya.
Tapi kenyataannya? Jauh pizza daripada panggangannya. Banyak orang sekarang mengistilahkan DPR sebagai Dewan Penyamun Rakyat, Dewan Pengkhianat Rakyat, Dewan Perampok Rakyat, Dewan Pemeras Rakyat, atau kata si kuple, anak STM di Senen yang kerjanya bolos mulu: Dogol Penipu Rakyat. Ini fakta. Das Sein.
Kelakuan anggota DPR sesungguhnya mencerminkan kelakuan partai politiknya. Semua anggota DPR adalah kader terbaik partai politik yang ada di negeri ini. Terbaik di sini tentu saja bukan dilihat dari tingkat kecerdasannya, bukan diukur dari tingkat kekritisannya, bukan dipandang dari tingkat intelektualitasnya, tapi semata-mata ditimbang dari tingkat kepatuhannya kepada partai politik. Apa sesungguhnya partai poltik itu.
Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Politik Universitas Indonesia, Prof. Miriam Budiardjo, pengertian partai politik adalah, “…suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama, dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.” Definisi-definisi lain tentang partai politik lebih kurang sama dengan Profesor Budiardjo. Baca baik-baik sekali lagi definisi tersebut. Apakah Anda menemukan kejanggalan?
Bagi yang kritis, setelah membaca baik-baik akan berpikir: “Lantas dimana kepentingan rakyat?”
Inilah lucunya. Dalam sistem demokrasi, partai politik kadung dianggap sebagai representasi dari rakyat. Padahal di alam kapitalisme seperti yang ada di Indonesia sekarang ini, siapa pun yang punya banyak uang, atau banyak “pengikut fanatik” (atau “Believers” meminjam istilah Eric Hoffer), bisa mendirikan partai politik. Orang-orang ini punya kepentingannya sendiri, punya agenda dan tujuannya sendiri, yang tidak harus sejalan dengan kepentingan rakyat.
Memang, untuk mendapatkan banyak suara rakyat, mereka harus membungkus kepentingan-kepentingan kelompok atau pribadinya dengan sangat rapat dan tertutup rapi. Bungkus atau kemasan itu ada yang berlabel nasionalisme, ada yang berlabel demokrasi, berlabel buruh dan tani, bahkan ada pula yang tega-teganya melabeli kemasannya dengan ayat-ayat suci. Bagai kecap, ada kecap ABC, kecap Bango, kecap National, kecap Tukang Sate, kecap Kurma, namun pada hakikatnya semuanya sama-sama kecap, yang beda cuma label dan strategi penjualannya. Demikian pula dengan partai politik, sama saja.
Tidak percaya? Kalau tidak percaya dengan pernyataan ini silakan tengok orang-orang yang berada di dalam gedung DPR. Tidak dari partai politik A, tidak dari partai poltik B, atau C, kelakuannya sama saja. Perbedaan-perbedaan keras di dalam rapat—yang kadang diliput langsung oleh media massa dalam hal ini teve—hanyalah perbedaan pembagian jatah kekuasaan (yang ujung-ujungnya bersifat materi), sama sekali tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat, walau mulut mereka berbusa-busa mengatasnamakan rakyat. Mereka semua akan diam seribu bahasa ketika kebagian jatah pelesir ke luar negeri dengan kedok studi banding, kebagian fasilitas mewah, kebagian amplop berisi uang ini dan itu, tunjangan ini dan itu, dan sebagainya.
Atau lihat pula kelakuan partai-partai politik sebelum dan setelah pemilu berakhir. Sebelum pemilu, para anggota partai politik yang berbeda saling bertarung bagaikan baneng-banteng yang terluka. Yang satu menjelekkan yang lain, yang lain pun menjelekkan yang lainnya lagi. Semuanya bagai tukang obat yang berteriak-terak tanpa malu dan menyatakan jika obat merekalah yang paling mujarab mengatasi persoalan bangsa ini.
Ketika pemilu berakhir dan keluar partai-partai politik mana saja yang ‘berhasil’ paling banyak menipu rakyat, maka mereka pun kasak-kusuk. Anehnya, partai-partai yang secara ideologi berseberangan bahkan saling bertentangan satu dengan yang lain, sebut saja Partai Minyak dengan Partai Air, bisa berkoalisi dengan sangat akrab. Mereka bersama-sama bahu-membahu duduk di pemerintahan. Jika demikian, buat apa dahulu rakyat bersusah-payah memilih Partai Air atau Partai Minyak untuk dicoblos, bahkan ada yang sampai sholat tahajud atau istikharah segala, padahal keduanya toh sama saja ketika sudah duduk di pemerintahan.
Semua partai politik dalam iklim kapitalistis pada hakikatnya sama saja. Yang beda ya cuma kemasannya yang digunakan hanya untuk pemilu. Setelahnya mereka semua sama. Tinggallah rakyat yang lagi-lagi dan lagi-lagi ditipu mentah-mentah. Rakyat tetap dalam kemiskinan dan kemelaratannya, dan para tokoh partai politik itu bisa berfoya-foya dari satu hotel ke hotel mewah lainnya. Bagaimana dengan agenda membangun bangsa? Mereka dengan sangat mudah akan berkata, “Sudah lupa tuh…”
Jujur saja, berkarir di partai politik sekarang ini menjadi satu pilihan hidup yang sangat menjanjikan. Para pengangguran, profesional yang gagal, karyawan yang mentok karirnya, aktivis yang jemu dengan kesengsaraan, dan orang-orang yang ingin kaya raya lewat jalur cepat, berbondong-bondong masuk di partai politik dan ikut arus dengan baik, jadi anak baik dan penurut pada ketua partainya, dan dalam waktu singkat mereka akan bisa menjadi kaya raya dengan terpilih menjadi anggota DPR, bupati, walikota, gubernur, bahkan menteri sekali pun. Syaratnya cuma satu: bunuh nurani Anda.
Ini bukan dongeng. Inilah kisah nyata sebuah negeri indah yang nyaris bangkrut bernama Indonesia. [rz]