Parpol Panen Kursi?

foto : detik.com

Semua partai politik (parpol) yang sudah menandatangani kontrak politik untuk memperkuat koalisi di kantor wakil presiden terpilih Boediono, Bravo Media Center, diantaranya PKS, PAN, PKB, PPP, Demokrat, dan Golkar, akhirnya semua mendapatkan kursi jabatan menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II, yang diumumkan Presiden SBY, semalam (pukul 10 malam) di Istana Merdeka.

Jumlah kursi menteri yang diberikan kepada parpol itu, jumlahnya tetap sama dengan jumlah kursi parpol di Kabinet Indonesia Bersatu I, yaitu berjumlah 19 kursi jabatan menteri.

Memang, sebelumnya, masing-masing parpol peserta koalisi, mengajukan daftar kadernya kepada Presiden SBY, berbeda-beda. Ada yang mengajukan daftar calon menteri 20 orang, ada yang 15 orang, ada yang 6 orang, ada 10 orang, dan ada 17 orang. Kenyataannya, yang masuk dalam Kabinet Indonesia Bersatu II ini, yang diakomodasi hanya 19 orang yang menjadi menteri.

Tapi, ada pula pimpinan partai, yang entah berseloroh, serius, atau ‘kepedean’ yang mengatakan, ‘Kalau bisa 20 orang kadernya itu, semuanya menduduki jabatan menteri di Kabinet Indonesia Bersatu’. Tentu, tidak mungkin Presiden SBY akan dapat memenuhi keinginan para pemimpin partai politik, karena berdasarkan undang-undang jumlah menteri dalam kabinet telah dibatasi jumlahnya 34 kementerian.

Masalahnya, Presiden SBY, yang sudah memenangkan pemilihan presiden, khususnya dalam membentuk kabinet yang baru ini, membongkar sebagian besar menteri di Kabinet Indonesia Bersatu I. Kecuali, di bidang Ekuin, yang tidak banyak mengalami perubahan. Dan, apakah orang-orang baru, yang menduduki jabatan menteri itu, benar-benar tokoh-tokoh yang memiliki kompetensi yang tinggi, dan dapat membangun Indonesia lima tahu mendatang?

Menteri-menteri yang baru ditunjuk itu, setidaknya perlu melakukan ‘penyesuaian’ dilingkungan departemennya masing-masing. Selanjautnya,yang akan menjadi pertanyaan bangsa Indonesia, bagaimana langkah mereka akan mensukseskan program pertama 100 hari mereka?

Pertama, dalam komposisi Kabinet Indonesia Bersatu II, yang banyak mendapatkan perhatian publik, kedudukan tokoh yang menjadi kepercayaan Presiden SBY, yaitu Hatta Rajasa, yang ditunjuk menjadi Menko Ekuin, yang juga seorang pemimpin Partai Amanah Nasional (PAN).

Di periode Kabinet Indonesia Bersatu I, jabatan Menko Ekuin itu, dipercayakan Presiden SBY kepada Ir.Aburizal Bakri, yang ditengah jalan diganti (direshufle), karena dinilai tidak kompeten, dan digantikan Prof.Dr.Boediono, yang sekarang menjadi wakil presiden. Meskipun, awalnya Aburizal Bakri, diyakini akan mampu memperbaiki kondisi ekonomi bangsa Indonesia, tapi kenyataannya di tengah jalan diganti.

Apakah orang kepercayaan Presiden SBY, yang dipilih sebagai Menko Ekuin, Hatta Rajasa, memegang jabatannya akan sampai tahun 2014? Tentu, Hatta yang sangat dekat dengan Presiden SBY, dan menjadi Ketua Tim Pemenangan pemilu presiden yang lalu, dinilai memiliki kemampuan ‘mengelola’ dan melakukan ‘koordinasi’ dengan menteri-menteri di departemen Ekuin, yang akan menjadi taruhan Presiden SBY, lima tahun mendatang, khususnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, serta menghidupkan sektor riil, yang selama ini belum beranjak.

Posisi Menko Kesra yang ditinggalkan Aburizal Bakri oleh Presiden SBY, akhirnya dipercayakan kepada Agung Laksono. Ini adalah bagian dari dukungan politik, yang secara eksplisit ditegaskan oleh Aburizal Bakri, usai terpilih di Munas Golkar di Pekanbaru yang lalu. ‘Ical’ sendiri menolak masuk ke dalam kabinet dengan alasan ingin membangun Golkar, yang sejak berakhirnya pemerintah Soeharto, terus terpuruk, dan merosot drastis perolehan suaranya dalam pemilu.

Sekalipun, menurut Presiden PKS, Tifatul Sembiring, yang disebut tidak ‘berkeringat’ dan tidak menjadi ‘back bone’ (tulang punggung) dalam memenangkan Presiden SBY, ketika pemilu, tapi ‘Triple A’ (Akbar Tanjung, Aburizal Bakri, dan Agung Laksono), sedari awal sudah menunjukan dukungan politiknya, ketika SBY bertarung di pilpres melawan Jusuf Kalla, yang Ketua Umum Golkar.

Tapi, Presiden SBY menilai Golkar tetap sebuah kekuatan politik ‘besar’, yang memiliki ‘leverage’ (daya tawar), dan untuk mengamankan dan memberikan dukungan pemeringtahannya, maka Golkar diakomodasi masuk pemerintahannya. Meskipun, sebelumnya Wakil Presiden Jusuf Kalla, menginginkan agar Golkar menjadi kekuatan oposisi (pengontrol) pemerintah, tapi hal itu tidak terjadi. Karena, hal itu pasti kalau Golkar menjadi kekuatan ‘oposisi’ akan menyalahi kodratnya, yang sejak lahirnya adalah bagian dari kekuasaan.

Jabatan Menko Polhukam, tak berbeda, jabatan penting ini juga diserahkan oleh Presiden SBY kepada Marsekal Djoko Suyanto, yang tamatan Akmil tahun 1973, dan seangkatan dengan Presiden SBY. Marsekal Djoko Suyanto, tak lain, adalah tim pemenangan Presiden SBY. Orang yang menjadi kepercayaan Presiden SBY ini, lima tahun ke depan, mendapatkan posisi strategis, di bidang politik, hukum, dan keamanan, menggantikan posisi yang ditinggalkan oleh Laksamana S.Widodo.

Barangkali, selama periode pemerintahan Presiden SBY, yang mendapatkan apresiasi yang tinggi, tak lain adalah keamanan didalam negeri. Tentu, yang memiliki momentum historis, penyelesaian masalah konflik di Aceh. Penyelesaian konflik di Aceh, yang sudah memiliki akar sejarah yang panjang, sejak zamannya Presiden Soekarno, dilanjutkan oleh Presiden Soeharto, dan diakhiri di zamannya pemerintahan Presiden SBY.

Dan ini berkat usaha-usaha yang dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Maka, secara eksplisit, Presiden SBY dalam pidato pelantikannya menyebut nama Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang mengatakan akan dikenang sejarah atas jasa-jasanya.

Posisi penting lainnya, yang dipegang tokoh partai adalah kementerian ESDM, yang sebelumnya di jabat oleh Purnomo Yusgiantoro, kini Presiden SBY memberikan kepada Darwin Saleh, yang menjabat sebagai Ketua Partai Demokrat. Pos ini sangat strategis menyangkut sumber daya alam Indonesia, yang sekarang sudah berada di tangan asing.

Bagaimana visi ke depan dengan sumber daya alam, yang secara ekplisit di dalam konstitusi (UUD ’45), dikatakan, ‘Akan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat’ itu? Sementara itu, kenyataan Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang luar biasa, justru rakyat menjadi miskin, dan yang menikmati sumber daya alam, tak lain adalah fihak asing.

Apakah lima tahun ke depan dengan Departemen ESDM dibawah Darwin Saleh, yang juga Ketua Demokrat, bidang ESDM, akan perubahan kebijakan yang mendasar khususnya bagi masa depan Indonesia? Atau tidak ada perubahan, stagnan, dan hanya memanjakan fihak asing?

Bidang yang strategis, yang menyangkut Ekuin, tetap dipegang kalangan professional, yaitu Menkeu diberikan kepada Sri Mulyani, Mendag diberikan kepada Mari Elka Pangestu, yang latar belakangnya dari CSIS, yang diawal Orde Baru, menjadi kelompok pemikir, yang mensuplai kebijakan-kebijakan kepada pemerntahan Soeharto. Perubahan bidang Ekuin ini hanya pergantian Meperin, yang sebelumnya dijabat Fahmi Idris (Golkar), digantikan oleh Ketua Kadin, Moh.S.Hidayat, yang juga Golkar.

Sementara bidang yang strategis lainnya, juga oleh Presiden SBY diberikan tokoh-tokoh dari kalangan professional, seperti Mendiknas diberikan kepada Moh.Nuh, yang mantan Rektor ITS (Institute Teknologi Surabaya), yang sangat dekat Presiden SBY, dan dikenal sangat religius. M.Nuh menggantikan Bambang Sudibyo, yang berasal dari PAN.

Sebenarnya, selama ini seperti menjadi kaidah yang tidak tertulis, selalu Mendiknas itu, diberikan kepada PAN (yang dekat dengan Muhmmadiyah), tapi sekarang ini diberikan tokoh kampus, yang lahir di Surabaya, dan baru berusia 50 tahun.

Masalah pendidikan sangatlah pelik dan krusial. Belakangan ini masalah pendidikan menjadi perdebatan nasional, khususnya belakangan ini, di mana bidang pendidikan mengarah ke komersial bersamaan dengan adanya undang-undang BHN. Meskipun, secara eksplisit dalam konstitusi (UUD ’45), bahwa anggaran pendikan dialokasikan 20 persen, tapi belum ada tanda-tanda sektor pendidikan mengalami perubahan mendasar. Khususnya keterkaitan dengan wajib belajar (sekolah), dan menghilangkan beban biaya bagi orang tua murid, termasuk mutu pendidikan.

Indonesia masih sangat tertinggal di bidang pendidikan, karena orang yang terdidik di Indonesia jumlahnya masih sangat kecil. 75 persen penduduk Indonesia hanyalah tamatan SD. Jumlah orang mempunyai gelar sarjana masih sangat sedikit. Sangat sulit Indonesia akan dapat menjadi bangsa yang memiliki nilai kompetitif dengan bangsa-bangsa lainnya, kalau mutu pendidikannya masih sangat rendah. Apakah menteri pendidikan yang baru M.Nuh, khususnya dalam lima tahun mendatang dapat melakukan perubahan-perubahan dibidang pendidikan?

Tokoh baru yang lahir, dan diharapkan akan membawa posisi Indonesia dapat terhormat dibidang diplomasi, tak lain dipiliihnya diplomat muda Marty Legawa menjad Menlu oleh Presiden SBY. Marty yang sebelumnya menjadi Dubes Indonesia untuk PBB adalah diplomat karir. Penampilannya yang sangat lembut, dan dengan latar belakang pendidikannya yang luas, serta pengalamannya dibidang diplomasi, di nilai sangat tepat menduduki pos sebagai Menlu.

Indonesia selama menggunakan ‘kredo’ yang sebenarnya sudah usang dalam kebijakan politik luar negeri, yang disebut dengan ‘bebas aktif’. Kebijakan ini tak lain adalah warisan perang dingin. Dengan perubahan lingkungan strategis, dan masuknya Indonesia di dalam G.20, yang sekarang menjadi wadah baru global, dan apakah Indonesia akan dapat memainkan peran pentingnya di didalam G.20 ini?

Apakah sosok Menlu yang baru akan dapat menciptakan kebijakan luar negeri Indonesia, yang lebih bermartabat dan memberikan posisi tawar bagi Indonesia? Selama beberapa dekade Indonesia terbelenggu dengan politik ‘bebas aktif’ yang tidak memberikan manfaat bagi kepentingan nasional Indonesia. Termasuk peran Indonesia ikut menyelesaikan konflik di Palestina?

Dan, Indonesia yang mengatakan menganut kebijakan luar negeri bebas aktif, tapi kenyataannya tidak memiliki posisi yang jelas, khususnya dalam dinamika politik internasional saat ini. Sebenarnya, bagaimana menempatkan posisi Indonesia, di tengah tumbuhnya kekuatan regional baru, seperti Cina, India, dan Jepang di kawasan Asia ini? Inilah yang akan menjadi tanggung jawab Menlu Marty Natalegawa.

Tokoh lainnya yang akan mempunyai posisi sangat strategis, dan menangani pemerintahan dan politik dalam negeri, Gamawan Fauzi, dan yang berhasil memenangkan secara mutlak pemilu presiden yang lalu bagi Presiden SBY di wilayah Sumatera Barat. Gamawan birokrat karir, dan memulai karirnya dari bawah, mulai dari camat, bupati, dan terakhir memenangkan pemilihan gubernur di Sumatera Barat. Dan, sekarang dipercaya oleh Presiden SBY menjadi Mendagri.

Masalah ke depan yang dihadapi Depdagri, tak lain adalah berkaitan dengan otonomi daerah, yang belum selesai, dan adanya kesenjangan antara Jakarta dengan daerah-daerah. Otonomi Daerah (Otda), belum berjalan secara efektif, sejak berlangsung reformasi ini. Sudah banyak dana dari pusat yang di alokasikan ke daerah, tapi belum dapat mengubah kondisi daerah lebih baik.

Justru dana-dana dalam bentuk DAU dan DAK dari pusat itu, banyak yang dihabiskan untuk kebutuhan rutin, alias menggaji pegawai, tidak digunakan untuk pembangunan. Maka, tak Nampak perubahan dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini, sejak berlangsunya reformasi. Inilah diantara masalah-masalah yang akan dihadapi Gamawan.

Dengan kabinet baru yang merupakan gabungan dari para pimpinan partai politik, militer, professional, dan birokrat yang siang ini dilantik di Istana Negara, adakah mereka ini tokoh-tokoh, yang memiliki visi, dan kompetensi yang memadai, dan dapat memberikan solusi, serta membawa bangsa Indonesia kearah kehidupan yang lebih baik? Wallahu’alam. (m)