Himawan Susanto: Parodi di Ruang Dungu

Sedih memang, tapi apa mau dikata. Sepertinya tidak ada koordinasi yang jelas antara pejabat satu dengan yang lainnya. Bahkan pidato saja bisa diralat oleh jubir Presiden, Mensesneg, dan Menko. Dan itu sangat memalukan sebagai sebuah negara.

Parodi Pejabat

Parodi (sering disebut juga plesetan) dalam penggunaan yang umum, artinya adalah suatu hasil karya yang digunakan untuk memelesetkan, memberikan komentar atas karya asli, judulnya, ataupun tentang pengarangnya dengan cara yang lucu atau dengan bahasa satire.

Dari istilah di atas seharusnya kita bisa belajar dengan itu semua, sepertinya pejabat di Istana lebih memberikan pesan yang jauh dari persoalan dan tidak sampai, bahkan lebih membingungkan rakyat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Linda Hutcheon seorang teoris literatur (2000:7) puts it, “parody, is, not always at the expense of the parodied text.” Karena selalu berada di luar logika kita, hal itulah yang membuat kelucuan tersendiri.

Satu contoh yang paling dekat dalam ingatan kita, dalam wabah virus Covid-19 yang ada orang sakit karena kena virus Covid-19 atau sehat. Tetapi yang ada di Indonesia adalah ODP, PDP, dan lain sebagainya. Seolah-olah yang menyandang gelar di atas adalah orang berbahaya.

Jadi wajar kalau rakyat merasa malu kalau terkena dan tidak mau memberitahukan kepada instasi kesehatan dan tertutup. Hal itu juga mengikuti contoh para pejabat Istana yang terkena virus covid 19, (kecuali Budi Karya, menteri perhubungan)? Karena sudah terlanjur beredar videonya ketika rapat terbatas menteri, yang di sampingnya Panglima TNI, yang sampai sekarang juga tidak pernah muncul, semoga sehat dan baik-baik saja.

Sejak awal virus Covid-19 merebak di seluruh dunia, hanya pejabat Indonesia yang celometan terhadap wabah itu. Dari menyepelekan masalah sampai memiliki obat penangkalnya. Ternyata celometan para pejabat tidak memberikan dampak positif bagi rakyat. Yang ada rakyat pada waswas, takut, dan tidak memiliki kepercayaan diri.

Itulah sebabnya ketika Gubernur DKI membuat Instruksi Gubernur, dibantah habis oleh Menkes, Menkopolhukam, dan para buzzer. Sepertinya Instruksi Gubernur telah merusak popularitas Istana. Padahal dua hari berikutnya ada 2 warga yang terjangkit virus Covid-19 asal Depok dan diumumkan Presiden, didampingi Menkes.

Hal lain yang lebih tegas adalah ketika Walikota Tegal mengumumkan Karantina Wilayah, lalu dihujat, di-bully oleh pejabat Istana dan para buzzer. Sepertinya kalau ada yang melangkah lebih maju, karena punya inisiatif selalu dianggap melawan atau berbahaya bagi pemerintah pusat.

Padahal kepala daerah wajib memberikan perlindungan kepada rakyatnya. Bukan hanya pada negara saja.

Yang menarik adalah ketika Gubernur DKI sedang menyiapkan PSBB yang dikeluarkan oleh Presiden, di sisi lain Presiden justru membagi-bagikan sembako di Jakarta dan Bogor, padahal dalam kondisi social distancing. Yang lebih lucu lagi ketika ojol tidak boleh menaikan penumpang, tapi digugurkan oleh keputusan Menhub dan boleh menaikan penumpang.

Begitu juga dengan KRL yang tetap beroperasi dan bus antarprovinsi bisa bebas leluasa di jalan keluar masuk terminal. Bahkan TKA asal China berdatangan dari berbagai bandara. Sampai 500 ribu TKI akan pulang dilarang, tapi ada pejabat justru membela TKA asal Cina masuk ke Indonesia.