Bedanya dengan rezim orde baru yang backbone politiknya (partai) Golkar, meskipun sama-sama mempersonifikasikan diri sebagai Pancasila, tapi Pancasila ketika itu dipakai sebagai “kerangkeng kekuasaan” untuk menyeragamkan pandangan yang berbeda, dijadikan “asas tunggal”. Sedangkan sekarang Pancasila dipakai sebagai “instrumen pemisah” antara “kita dan mereka”.
Memang ada perbedaan proses personifikasi sebagai Pancasila antara orde baru dan rezim Joko Widodo ini. Rezim orde baru merasa identik dengan Pancasila karena berhasil menggagalkan usaha PKI (Partai Komunis Indonesia) lewat Gerakan 30 September 1965 yang ingin mengganti dasar negara Pancasila dengan komunisme.
Sedangkan PDI Perjuangan yang merupakan pemenang pemilu dan parpol terbesar pendukung pemerintah, merasa sebagai ahli waris dan pemilik sah Pancasila setelah Presiden Joko Widodo pada 1 Juni 2016 menandatangani “Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila” sekaligus menetapkan sebagai hari libur nasional mulai 2017.
Secara politik, Keppres No 24/2016 itu merupakan “akte kelahiran Pancasila 1 Juni 1945” yang secara politik “bapaknya” adalah Sukarno, yang notabene ayah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputeri.
Sejak itulah dari penguasa dan pendukungnya berhamburan slogan “Saya Indonesia, Saya Pancasila…!”
Selanjutnya, sebagai “ahli waris Pancasila” PDI Perjuangan merasa berwenang membuat (rancangan) undang-undang tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia menjalankan dan mengamalkan Pancasila, yang bisa diperas menjadi Trisila, lalu Ekasila.
Pancasila Tidak Dilahirkan
Melihat sejarah Pancasila dalam perspektif historiografi, sebenarnya Pancasila tidak (pernah) dilahirkan karena ia produk budaya (intelektual), peradaban yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat (kepulauan Nusantara) jauh, sangat jauh sebelum Sukarno dilahirkan, dan akan terus berproses seirama zaman.
Dengan demikian, Keppres No 24 Tahun 2016 yang menjadi “akte kelahiran Pancasila 1 Juni 1945” secara ketatanegaraan maupun secara intelektual bisa dianggap cacat. Menyimpang dari kaidah historiografi.
Ingat, di depan BPUPKI itu, baik Mr Mohammad Yamin yang konon berpidato soal “lima dasar” pada 29 Mei 1945 maupun Sukarno yang berpidato pada 1 Juni 1945 juga tentang “lima dasar” yang kemudian atas “petunjuk teman kita ahli bahasa” disebut Pancasila, mengaku hanya sebagai penggali. Sekali lagi: penggali!
Karena nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sesungguhnya berakar pada sejarah, peradaban, agama, yang telah lama berkembang di Nusantara.
Benar, Sukarno (dan juga Yamin) memang bisa disebut sebagai “arkeolog politik” yang menggali tata budaya dan nilai-nilai kehidupan di situs peradaban nenek-moyang kita untuk dijadikan pedoman kehidupan dalam berbangsa dan bernegara.
Makanya, meskipun “pidato (Sukarno tentang Pancasila pada 1 Juni 1945) itu menarik perhatian anggota Panitia dan disambut dengan tepuk tangan yang riuh, sebagaimana diungkapkan Bung Hatta dalam suratnya kepada Guntur putra Sukarno, tapi masih berupa kumpulan artefak yang harus dibersihkan, disusun ulang, direstorasi, dipugar.