Menurut pandangan kami, Presiden Joko Widodo bertanggung jawab untuk mengembalikan pamor atau kepercayaan rakyat kepada institusi TNI yang runtuh di era kepemimpinan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.
Bisa dibayangkan, selama ini berkembangnya persepsi di publik, yang menganggap bahwa Panglima TNI Marsekal Hadi semata sebagai wakil kepala Polri yang dijabat Tito. Persepsi seperti ini sangat melecehkan dan merugikan institusi TNI.
Persepsi seperti itu bisa berkembang pasti ada sebabnya, tidak ujug-ujug. Ada asap pasti ada apinya. Persepsi seperti itu berkembang lantaran masalah kapasitas kepemimpinan dan intelektual di dalam diri Marsekal Hadi.
Persepsi negatif kepada Marsekal Hadi Tjahjanto tersebut berimbas langsung menjadi persepsi negatif kepada institusi TNI. Survei opini publik yang dilakukan oleh LSI Denny JA membuktikan menurunnya persepsi positif tersebut.
Hasil survei yang diumumkan pada Rabu, 13 November 2019 itu membuktikan terjadi penurunan kepercayaan kepada institusi TNI. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya di mana institusi TNI menempati peringkat teratas sebagai institusi paling terpercaya, menurun beberapa digit.
Dari 90,4 persen di tahun-tahun sebelumnya menjadi 89 persen di era kepemimpinan Marsekal Hadi.
Perlu ditekankan bahwa masalah Hadi Tjahjanto bukan masalah antara matra di dalam tubuh TNI. Setiap matra pasti memiliki perwira terbaik yang mempunyai kapasitas untuk memimpin TNI.
Masalah Hadi Tjahjanto adalah masalah kapasitasnya, baik kapasitas leadership maupun kapasitas intelektual yang tidak kompatibel dengan tantangan zaman.
Sebagai contohnya ketika Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menanggapi teror berdarah di Polres Medan, di sebuah acara di Bogor, 13 November 2019.
“Di antara ancaman revolusi industri 4.0 adalah peristiwa yang terjadi dalam tempo yang singkat, kita tak membayangkan tiba-tiba terjadi, “Bang!” bom, di Medan terjadi bom bunuh diri,” ujar Marsekal Hadi.
Marsekal Hadi mungkin perlu membuka buka kembali Google untuk melihat ciri ciri serangan teror yang dilakukan oleh terorisme dari berbagai generasi.
Pada dasarnya hampir seluruh kejadian teror, baik teroris generasi 3.0 maupun teroris generasi 4.0, selalu dilakukan dengan efek kejut, cepat, singkat dan tidak dapat diduga sebelumnya, baik waktu, sasaran maupun pelakunya. Jadi, kejadian bom Medan bukanlah ciri dari ancaman revolusi 4.0.
Perhatikan teror 911 yang meruntuhkan gedung WTC di Amerika, semuanya berlangsung sangat eskalatif, sangat cepat tak dapat diprediksi sebelumnya.
Demikian juga teror bom di dalam negeri, di Bali, Kedubes Australia hingga teror bom Marriot. Semua peristiwa teror yang sangat eskalatif itu terjadi sebelum berlangsung revolusi 4.0.
Jangan kemudian kita mengkambinghitamkan revolusi 4.0 untuk menutupi ketidakmampuan dan kegagalan kita sebagai pemimimpin negara dalam melindungi segenap tumpah darah Indonesia yang diamanatkan di dalam Pembukaan UUD 1945. (end/glr)
*) Penulis: Haris Rusli Moty, Kepala Pusat Pengkajian Nusantara-Pasifik (PPNP)