“Paket Bom” Pejuang Khilafah Di Fitnah?

Oleh Harits Abu Ulya (Pemerhati Kontra-Terorisme dan Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI)

Masyarakat belum juga melihat bukti siapa pelaku dari “paket Bom” hingga saat ini, sebaliknya malah menyaksikan ngototnya pihak BNPT dan beberapa koleganya berbicara bukan data dan bukti tapi lebih tepat disebut sebagai propaganda dan opini.Menurutnya, paket bom yang membuat adalah kelompok lama, menunjuk hidung tapi masih juga tidak jelas. Ungkapnya lebih lanjut, yang menjadi sasaran bom adalah orang-orang yang dianggap penghalang perjuangan Khilafah.

Artinya, membuat kesimpulan bahwa pelakunya adalah para pejuang khilafah. Jika kita kritis, merunut dan belajar dari kejadian sebelumnya dalam isu “terorisme” maka kita akan menemukan cacatnya opini dan propaganda ini. Kasus perampokan bank CIMB Medan yang lalu, Kapolri (waktu itu BHD) juga menyatakan “negara Islam (daulah Islam)” sebagai visi politik dari perampokan.

Nah, tentu bukan kesleo lidah kalau seorang ketua BNPT (Ansyad Mbai) yang langsung bertanggungjawab kepada Presiden atau koleganya pak Doktor Hendropriyono (mantan kepala BIN) kembali mengangkat bahwa visi politik dari paket bom yang lebih tepat disebut “paket mercon” itu adalah pendirian Khilafah.Kita lihat, ada kecenderungan untuk mengkriminalisasi dan nafsu membungkam gerakan pengusung khilafah dengan cara-cara tidak fair dan konyol.

Kenapa konyol dan tendensius? Karena tidak satu jalan pun yang dapat digunakan mereka untuk melawan atau membuktikan baik secara intelektual , rasional, emosional, maupun secara legal yang dapat mengkaitkan “terror” dengan perjuangan khilafah.Kalau sebelumnya Kepala BNPT, Ansyaad Mbai dalam berbagai kesempatan diskusi di radio, TV dan forum-forum diskusi menyatakan bahwa target dari bom buku ini adalah para penghalang khilafah.

Ini tidak lebih sebagai upaya licik “soft measure” untuk mendapatkan legitimasi baik dari sisi opini atau regulasi, yang nantinya dipakai untuk menindak secar represif kelompok-kelompok yang menyuarakan khilafah.Maka kita bisa menangkap logika yang sedang dibangun; kenapa paket bom kemarin diarahkan ke person tertentu dan representasi dari entitas tertentu?

Ini sebuah pola penyampaian pesan dengan obyek yang “tepat” untuk mendapatkan justifikasi bahwa yang melakukan adalah kelompok yang radikal: kontra demokrasi, liberalism atau juga dianggap membahayakan empat pilar Negara RI (Pancasila, NKRI, Kebinekaan, UUD1945).Disertai instrument pendukung yang relevan (missal:buku-buku yang judulnya “menyerang” sebagai sampul bom).

Dan untuk memastikan lebih jauh bahwa benar-benar pelakunya adalah kelompok yang di cap teroris maka muncul aksi pengelabuan. Dari paket mercon utan kayu, BNN, dan untuk Yapto kemudian bertolak (follow up) dibanyak tempat lainnya.Ekspos media membuat suasana seolah makin genting karena aksi terorisme.Akhirnya banyak tindakan yang “lucu” dan paranoid. Ada “kaleng susu”, ‘plastik sampah” dll dianggap bom.Sedikit-sedikit ada bungkusan dan kotak yang tidak bertuan langsung diasumsikan “bom”. Secara tidak sadar ini menjadi stimulus lahirnya sekelompok kecil masyarakat “sakit”, kemudian latah menjadi peneror baru tanpa lagi melihat dampaknya.

Untuk menguji lebih jauh logika pengkaitan terror bom dengan khilafah sebagai motif politiknya (yang artinya pelaku terror adalah pejuang Khilafah), maka kita perlu mengurai beberapa realitas actual.Kita melihat masyarakat terbelah, ada yang percaya jika pelakunya adalah kelompok “teroris” dan sebagian menolak dan justru menuduh penguasa melalui instrument intelijennya bermain dan melakukan semua ini. Menurut saya keduanya niscaya, dan catatan penting yang tidak boleh dilupakan; masyarakat hari ini sulit mempercayai jika peristiwa ini nihil rekayasa dan zero kepentingan politik tertentu.

Pelaku?

Ada Analisa yang bisa kita ajukan menyangkut siapa pelakunya;

Pertama, kemungkinan murni person atau kelompok “jihadis” yang melakukan. Ini berdasarkan produk rakitan yang meledak di Utan Kayu, dan beberapa “qorinah” lainya sekalipun terlihat kurang “profesional” karena beberapa faktor.Tapi terkait motif sangat sumir, apa hanya ingin menunjukkan bahwa diri mereka masih eksis dengan menciptakan teror. Atau memang memiliki target lebih dari itu, disini antara ranah aksi dan nilai yang lebih besar dalam kontek politik yang hendak mereka raih sama sekali tidak ada benang merahnya.Aroma pragmatism cukup dominan jika benar kelompok pertama yang melakukan dan jauh dari visi politik yang akuntabel.

Kedua, kooptasi pihak intelijen terhadap kelompok pertama untuk melakukan aksi. Mengingat pihak aparat intelijen yang konsen urusan kontra-terorisme telah mengendalikan sebagian dari mereka dan menggunakan untuk beberapa “proyek jebakan”.Contoh, kasus aktifis di Solo yang berinisial “BN” dituntut hukuman 20 tahun penjara karena kepemilikan peluru.”BN” ditangkap atas laporan yang bernama “Ipung”, dan sementara “ipung” sendiri buron (DPO) dan sekaligus sebagai pihak yang menitipkan (pemilik) peluru kepada “BN”.

Bagaimana bisa orang yang menjadi pemilik “bebas” berkeliaran dengan di bahasakan menjadi DPO, tapi dia bisa memberikan laporan kepada pihak Densus88 untuk menangkap seorang “BN”?.Ini hanya satu contoh kasus adanya person tertentu yang faktanya mereka dibawah kendali pihak tertentu untuk kepentingan operasi tertentu.Dikalangan kelompok jihadis juga mereka menempatkan sosok seperti Nasir Abbas, Ale permisalan dari orang yang dibawah kendali aparat. Jika dalam kasus paket bom, muncul nama Taufiq Bulaga alias Upik Liwanga (seorang veteran jihad Poso) sejauh ini juga tidak bisa dipastikan apakah dia masuk katagori person yang masih “istiqomah” atau mengalami perubahan sikap seperti halnya Nasir Abbas.

Ketiga, murni dilakukan kelompok “jihadis” dan kemudian ada langkah followup dari pihak intelijen hitam untuk membuat eskalasi dan target bom paket ini lebih besar. Saya melihat banyak “bingkisan” diberbagai tempat dibuat untuk membuat cerita bom paket bisa lebih bombastis efek social politiknya. Kemudian memudahkan menggiring opini dan propaganda melalui media masa dengan target politik tertentu.

Coba pikirkan, jika pemerintah dituntut untuk ungkap siapa pelakunya maka siapa yang akan ditangkap oleh BNPT atau Densus88?Menurut saya yang akan jadi “korban” atau “dikorbankan” tidak akan keluar dari lingkaran orang-orang yang di cap “teroris” yang titik kordinat mereka sebagian besar kedeteksi, ada kemungkinan “veteran Poso” akan dijadikan tumbal.Dilapangan saya temukan indikasi dari kelompok jihadis yang melakukan, tapi saya masih tidak yakin karena ketidakseriuan dari operasi mereka. Paket Bom yang mereka buat lebih tampak motifnya hanya menimbulkan efek takut dan panic.

Pilihan target dan pola eksekusinya, kecenderungan gagal dan meleset itu besar sekali.Karenanya saya menduga kuat ini permainan saja, cuma memanfaatkan kelompok jihadis yang dibawah kendali aparat intelijen. Mereka diberi “order” dan stimulus dan desain berikutnya bukan urusan mereka. Ini permainan intelijen, motifnya menciptakan sedikit kepanikan dan kontraksi politik tapi target sebenarnya adalah hal lain.

Ada realita terkait “kelompok lama” yang kita perlu mengetahui Dari riset beberapa bulan terakhir, saya dapatkan fakta: memang masih ada kelompok jihadis yang masih mengadopsi model “tandzim sirri” alias tidak terbuka.Tapi mereka sebagian besar terdiaspora, ada yang berjalan sendiri dengan memegang ideology jihadnya menjadi “singa-singa” kesepian. Ada juga yang mencoba membangun kembali jejaring membentuk tandzim sirri yang lebih mapan. Dan ada juga barisan baru yang memiliki ideology jihad yang sama, kemudian berkolabari dalam berbagai titik aksi.

Dan masih ada juga yang mereka mengistilahkan “bila madzab” yang siap supporting dalam agenda-agenda jihad. Kita juga temukan realita, jika ada sebagian dari mereka adalah orang-orang yang sudah luntur ideologi jihadnya karena tekanan fisik dan mental kemudian dibawah ketiak aparat intelijen. Saya dapatkan beberapa nama dan mereka ditanam didalam kelompok-kelompok yang masih eksis untuk kepentingan operasi intelijen. Kelompok inilah yang sering dipakai untuk merekayasa dan membuat konspirasi dibawah isu “terorisme”.

Motif dan target?

Adapun target dan motif bisa kita ajukan analisa, bahwa paket bom ini bisa menjadi “obat tidur” sejenak bagi penguasa negeri ini setelah di hajar isu wikileaks dan koalisi serta reshuffle.Ini melihat pola pemilihan momentum munculnya paket bom.Rasanya sulit kalau dikatakan nihil dari design pihak tertentu. Kemudian kedua bisa dikait-kaitkan lagi dengan ustad ABB, kita ingat saat dulu ketika ABB di sidang juga ada Bom Marriot kemudian larinya tuduhan juga ke ABB.

Kali ini sangat mungkin, paket bom dikaitkan lagi dengan ustad ABB.Karena sebelumnya dalam persidangan sudah muncul “prolog” sebuah sepanduk yang tidak bisa dipertangungjawabkan tentang “buronan mujahid” mengarah ke nama-nama tertentu, hingga akhirnya muncul paket bom untuk person-person tertentu. Di tambah lagi ada kemungkinan kecemasan pihak penegak hukum (kontra-terorisme) tuduhan dan pasal yang berlapis untuk ustad ABB terbuka kedok rekayasanya, dan butuh delik hukum baru untuk memastikan ustad ABB tidak bisa lolos dari tuntutan maksimal hukuman mati atau penjara seumur hidup.

Pengakuan taubat ustad Khairul Ghazali menjadi “ancaman” serius terhadap cerita dan drama yang selama ini keluar dari mulut BNPT.Kenapa harus ABB selalu menjadi target?, Karena Ustad ABB saat ini satu-satunya yang bisa dianggap oleh pihak BNPT sebagai icon dari obyek WOT. Karena latar belakang beliau, dan latar belakang beberapa resourching yang menyokong beliau.

Sekalipun beliau sendiri punya pandangan menegakkan khilafah tidak bisa dengan cara kekerasan dan terror, tetap saja proyek WOT harus jalan dan menjadikan ustad ABB representasi puncak dari kelompok yang harus di cap “teroris”. Ini sudah menyangkut kepentingan politik Barat dan penguasa-penguasa muslim munafik yang loyal kepada thagut.Ustad ABB menjadi “korban” sesembahan dari proyek WOT untuk mengucurkan dolar dan kemaslahatan lainya dari AS dan sekutunya.

Dan disisi lain selang beberapa hari paska paket bom, pihak BIN mengajukan draft revisi UU Intelijen, ini melahirkan tanda tanya; apakah semua ini dijadikan salah satu stimulus lahirnya regulasi yang lebih tajam untuk kepentingan proyek “kontra-terorisme”?. Dan lebih aneh lagi, orang-orang yang paling bertanggungjawab dalam proyek WOT bersama para koleganya membicarakan visi politik dari paket bom yang lebih tepat disebut paket mercon ini. Khilafah muncul dipermukaan dianggap visi politik dari kelompok yang membuat paket bom. Maka ada soal penting, siapa “trend setter” dan sekaligus “follower” dalam kasus ini? Jangan sampai ada “maling teriak maling”.

Maka point terakhir terkait “target bom, penghalang Khilafah”, sebuah langkah sengaja membangun opini dan propaganda untuk mengkriminalisasi terminology “Khilafah” berangkat dari “paket mercon” ini.Ini cara pandang yang “katarak” dan mendramatisir secara sengaja dua perkara yang sulit dipertanggungjawabkan relevansinya.

Okelah, kalau BNPT bilang bahwa tujuan para teroris itu adalah Khilafah itu berasal dari pengakuan orang-orang yang ditangkap. Pertanyaannya, apa iya itu pengakuan yang jujur tidak dibawah tekanan? Riset saya; orang-orang yang ditangkap dengan tuduhan teroris rata-rata dibawah intimidasi dan siksaan, harus tanda tangan BAP yang kerap kali sudah disiapkan dengan tanpa daya.

Contoh kecil, lihatlah pengakuan Khairul Gazhali (kasus CIMB Medan) bagaimana rekayasa atas apa yang dia lakukan atas order dari pihak aparat Densus88, kemudian Gazhali taubat menyesalinya. Andaikan pengakuan itu tidak dibawah tekanan, tentu kita bisa menguji visi politik mereka (yang dituduh teroris) tentang khilafah. Sejauh riset saya, kelompok jihadis justru kurang mampu merumuskan visi politiknya (khilafah). Saya belum temukan dari tandzim sirri,adanya kemampuan mereka mengkonstruksi visi politiknya (khilafah) secara utuh.

Dan ini menjadi fenomena kelompok jihadis di dunia arab juga, aspek ini terasa kekurangannya secara signifikan. Dari gerakan Islam yang terbuka dengan visi politik Khilafahnya, Hizbut Tahrir-lah yang terdepan dan sekaligus kemampuan Hizb menjaga metode dakwahnya tidak dengan jalan terror atau fisik. Saya lihat orang-orang yang dengan ideologi jihadnya terjebak dalam pragmatism, kabur visi politiknya. Jadi susah rasanya kalau “paket mercon” kamudian di tarik jauh ke visi politiknya. Maka ini sebuah rencana tendensius dan penuh dengan motif dan target jangka panjang dari WOT.

Karenanya, ditangkapnya 600 orang lebih atau akan ditambah lagi sekitar 400-an orang yang masih diluar ke dalam bui, tidak akan menghentikan proyek WOT (war on terrorism).Apalagi kerja untuk WOT sudah dilembagakan dalam bentuk BNPT.Saya melihat pendekatan BNPT dengan “hard power”nya ditujukan kepada kelompok yang melakukan langkah-langkah fisik yang kemudian dicap sebagai aktifitas terorisme adalah bukan target akhir. Karena mindsite mereka melihat persoalan ini, adanya ideology radikal menjadi akar masalahnya.

Karena itu target akhir yang sesungguhnya adalah kelompok yang dianggap masih satu “link mind”, yakni kelompok yang dianggap mengusung ideologi radikal.Karenanya dilapangan agar bisa sampai di target ini, cenderung tampak adanya upaya mengkriminalisasi ide-ide daulah Islam, Khilafah Islam melalui jebakan dan provokasi orang-orang tertentu yang sudah dibawah monitoring mereka.

Maka pengkaitan antara aksi perampokan atau paket mercon atau dengan modus baru lainya dengan visi politik Khilafah adalah konyol dan memaksakan diri. Ini cara konyol mendiskriditkan gerakan khilafah, seperti ledekan tukang becak ala Surabaya “Jaka Sembung naik becak, gak nyambung cak!”.

Saya justru melihat dalam konteks kekinian, Khilafah akan makin mendapatkan tempat di hati umat insyaAllah, sekalipun ada upaya kriminalisasi oleh pihak tertentu atau langkah kontraproduktif dari sebagian kecil kelompok yang mengusung visi politik khilafah dengan menempuh jalan jihad tapi pragmatis.Khilafah akan makin menarik dan menjadi jawaban yang dirindukan umat kehadirannya, pertumbuhannya seperti grafik linear naik keatas seiring dengan grafik demokrasi meluncur ke titik nadzir karena gagal sebagai sebuah system yang diadopsi saat ini. Wallahu a’lam bishowab