Pak Jendral Idham Azis, Mau Ditulis Sejarah Sebagai Apa?

Ustad Das’at, suatu hari memberi pesan kecil dan berbobot kepada Pak Kapolri Idham Azis. Pesan itu, kalau tak salah terlontar dari mulut ustad, usai ceramah Rapimnas Kepolisian, di Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Kalau tak salah, pesan terlontar setelah Pak Idham, kala itu masih Jendral aktif dan memegang jabatan Kapolri meminta ustad memberi Pesan.

Jangan pukul kepala orang, kata ustad Da’ad  kala itu. Menurut ustad ini, di kepala itu tersimpang memori huruf demi huruf al’qur’an dan hadist, yang dihafal si empunya kepala. Kalau kepalanya di pukul, ustad Das’ad khawatir hafalan al’qurannya melayang entah kemana. Padahal di alam kecil itulah, panduan agung setiap orang mengenal diri, menimbang napas, mengenal Penciptanya tersimpan. Masuk akal. Top ustad Das’ad.

Pesan itu akan ditemukan sebagai sejarah. Apakah pesan itu diikuti oleh Pak Kapolri, Pak jendral Idham Aziz atau tidak? Percayalah pesan itu telah tertulis rapi dalam sejarah. Entah di daerah, di Jakarta hampir tak terdengar. Apalagi tercatat rapi dalam administrasi hukum di Kepolisian peristiwa Polisi memukul kepala orang. Di Jakarta, sekali lagi tidak ada. Entah di daerah-daerah.

Pertanyaannya, apakah tidak ada mahasiswa yang bocor kepalanya, berdarah-darah, karena terkena benda tumpul yang salah digunakan oleh anggota Polisi? Tidak ada mahasiswa, bahkan buruh yang bocor kepalanya disaat demonstrasi, karena terhantam benda tumpul yang dimiliki Polisi?

Dunia tahu, rumput pun tahu, pada tangal 7 Desember 2020 lalu ada anak bangsa ini yang mati ditembak oleh polisi di dada lebih dari satu tembakan. Kadafi, yang Babang Dula Hehamuhua pernah datangi kediamannya mengikuti tahlilan adalah salah satunya. Teman-temannya juga mati tertebak. Juga di dada juga, bukan di kepala. Kepala sih aman.

Mereka yang tertembak adalah para pengawal Habib Rizieq Sihab, dalam perjalanannya dari Sentul ke suatu tempat di Karawang. “Mereka dibuntuti, lalu terjadi kejar-kejaran dan berakhir dengan baku- tembak”, kata Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Fadil Imran. Baku-tembak ini atau tertembak di kilometer 49, dan mayatnya diturunkan di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek), itu ada dua orang.

Sisanya empat orang lain ditembak Petugas Polisi di dalam mobil, empat orang itu diangkut untuk dibawa ke Polda Metro Jaya. Di dalam mobil inilah orang-orang itu ditembak. Katanya mereka berusaha merebut senjata, sehingga mereka ditembak. Jelas penjelasan yang tak masuk akal.

Tetapi lebih tak masuk akal lagi, setelah itu polisi di bawah kepemimpinan Pak Idham menyelidiki kasus ini. Parahnya lagi, penyidik terlihat menyidik kasus itu menurut versi Irjen Pol. Fadhil Imran, Kapolda Metro Jaya. Skema itu terlihat nyata pada rekonstruksi kasus ini.

Untungnya Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM), yang melakuka penyelidikan dengan segala kelemahannya, menyajikan fakta yang sebagian besar sudutnya berbeda dengan data polisi. Bila tidak ada data dari Komnas Ham, kiamatlah dunia hukum negeri ini sesuai kerja polisi yang dipimpin Pak Idham Azis. Orang-orang itu mati karena melawan petugas. Polisi benar total, dan FPI jadi salah total.

Entah dibawah kendali atau tidak, yang pasti Bareskrim dalam kepemimpinan Pak Idham Azis ini juga yang menangkap Jumhur Hidayat, Sahganda Nainggolan dan Anton Permana dan kawan-kawan aktivis. Drama penangkapan Jumhur hidayat, terus terang, memukul nurani rule of law dalam semua aspeknya. Terlihat Pak Idham Azis seperti miskin dalam pemahaman terhadap hukum dan HAM.