Ormas Islam, Belajarlah Pada AKP Turki dan PM Erdogan

Setiap organisasi keislaman, yang bergerak di bawah nama atau label apapun, atau untuk tujuan apapun–dengan mengecualikan organisasi-organisasi yang melakukan teror berdarah–haruslah memperhatikan masalah-masalah kebangsaan dalam skala besar di negaranya, yaitu permasalahan manusia yang hidup untuk mendapatkan kenyamanan mereka, untuk sampai pada hati dan akal pikiran mereka.

Organisas-organisasi keislaman itu harus mengukuhkan bangunannya dan visi kerakyatannya, untuk mampu mengemban tanggung jawab dalam hal administrasi dan kepemimpinan. Mereka harus mampu menyuguhkan potret dan sosok yang baik, yang dapat diterima untuk membangun negara mereka, serta dunia di sekitar mereka.

Mereka harus mampu menyelesaikan dan berada jauh di atas masalah-masalah kecil, tidak menyibukkan diri mereka di dalamnya. Mereka harus bisa menghadirkan retorika yang mampu menghantarkan konsep dan pemikiran mereka dapat diterima oleh kalangan lain.

Mereka harus mampu meyakinkan dunia luar, bahwa kelompok Islam di masa sekarang ini tidaklah datang dari dunia lain yang lama, tidak pula anti-modern, baik secara pemikiran atau perbuatan, tanpa harus teralineasi atau terjauh darikeutamaan-keutamaan dan prinsip-prinsip pokok agama, serta nilai-nilai yang positif.

Marilah kita menengok pada fenomena dan eksperimen Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP/Hizb al-‘Adâlah wa at-Tanmiyyah), atau Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (yang diempu oleh PM Recep Tayep Erdogan, penj). Di sana, kita akan menemukan model dan corak atas suksesnya kalangan Islamis yang moderat dan luwes dalam hukum, pemerintahan, sekaligus manajemen yang cerdas. Oleh sebab itul jugalah, AKP dapat diterima secara luas oleh khalayak, juga mendapatkan dukungan dari publik internasional.

Tak hanya itu saja, eksperimen AKP juga dipandang layak untuk diterapkan, tanpa harus mendatangkan kekhawatiran di negara-negara Arab dan Muslim. Hal ini, di mana karena pada eksperimen AKP, di dapatkan model Islam Politik yang populer dan dapat diterima oleh publik.

Meski demikian, tidaklah harus difahami jika AKP Turki adalah "saingan" atas Organisasi al-Ikhwan al-Muslimun (Ikhwan), misalnya, di Mesir atau di negara-negara yang di sana didapati fenomena penguasa vis a vis oposisi. Karena, bagaimanapun, AKP lebih mampu berkembang dan meresap dalam kondisi dan konteks dalam negeri Turki yang sekuler, juga dalam kancah Eropa dan Barat yang sekuler.

Demikian juga Ikhwan dan organisasi-organisasi serta gerakan-gerakan Islam Politik lainnya, dengan berbagai model dan label, sejatinya mereka masih sangat membutuhkan pada kritik dan tinjauan secara lebih dalam, baik dari segi pemikiran atau pun jejak-gerak (suluk), menimbang model pemahaman mereka terhadap Islam dan prinsip-prinsip pokoknya, serta dialektika mereka dalam kehidupan yang terus berkembang dan berubah cepat ini.

Penulis tidak mengatakan jika kita harus mengabaikan atau mencampakkan Islam sebagai sebuah agama yang suci. Sama sekali tidak. Karena sesungguhnya, masalah-masalah keislaman yang terjadi saat ini tidaklah berasal dari Islam yang layak sepanjang zaman dan makan itu, melainkan, masalah tersebut berpangkal pada pemahaman Islam secara kontekstual dan modern, yang mampu menjaga realita kehidupan yang terus menerus berubah dan berkelindan dengan cepat.

Contohnya, sekarang ini, kita mendapatkan orang-orang yang meraih nobel sains adalah orang-orang Barat, dari Amerika khususnya, bahkan di antara mereka adalah orang Israel. Tidak ada satu pun dari mereka orang Arab atau Muslim. Demikianlah keadaannya semenjak hadiah dan penghargaan bergengsi itu diluncurkan. Meskipun ada nama seorang Muslim, yaitu Dr. Ahmad Zuwail, yang pernah mendapatkan nobel sains, tetapi dia hidup dan menjalankan risetnya di Amerika, bukan di negara asalnya di Mesir.

Untuk itulah, sesungguhnya masalah ilmu pengetahuan dan sains harus menjadi prioritas utama sekaligus besar bagi orang-orang Islam(is), sebelum mereka. Hal ini, untuk mendirikan sebuah nalar dan kesadaran baru yang kelak dapat menyokong kemajuan negara-negara mereka dan masyarakat mereka, serta kemampuan mereka untuk menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat kepada dunia, sebagai pewaris para saintis dan ulama Islam di masa dulu yang agung.

Bagaimanapun, para saintis dan ulama Islam di masa dulu itu, dengan ilmu pengetahuan dan dedikasi mereka, telah menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi masyarakat Eropa modern, untuk kemudian masyarakat Eropa itu membangun peradabannya yang luhur.

Atau, apakah kalangan Islamis itu akan tetap tersibukkan oleh masalah-masalah semisal: mengharamkan musik dan seni, menghancurkan patung-patung bersejarah karena dianggap sebagai berhala, membakar tempat-tempat penjualan kaset dan video, alat-alat rias, fatwa menyusui orang dewasa, atau yang baru-baru ini ramai di Somalia, yaitu fatwa tidak bolehnya perempuan untuk memakai pakaian (maaf) bra, atau lebih memilih untuk membekali anak-anak kecilnya dengan senjata dan granat, dari pada dengan aktivitas menghafal al-Qur’an. Dan seterusnya.

Tidaklah masuk akal rasanya negara-negara Muslim akan mampu menjadi negara-negara maju dan bersaing di tengah kancah internasional, jika organisasi-organisasi dan gerakan-gerakan Islamnya–yang sering kali menyatakan sebagai solusi, atau lebih baik dari sebuah sistem kenegaraan yang tengah dijalankan–masih saja tersibukkan oleh level pemahaman dan pemikiran yang kerdil seperti ini.

Sumber: Ditulis oleh Thaha Khalifah; surat kabar ar-Râyah (terbit di Qatar), edisi 5 Desember 2009, dengan judul asli “Islâmiyyûn Judud”. Artikel ini diterjemahkan oleh A. Ginandjar Sya’ban (Kairo).