Organisasi Buzzer

Dalam ”organisasi” buzzer, kata Wijayanto, ada yang disebut front liner, koordinator, dan tangan kanan politikus. “Kami sampai mengetahui siapa mereka,” ujar Wijayanto.

Di barisan front liner, katanya, terdiri dari berbagai bidang. Ada yang tugasnya menciptakan meme, grafik, narasi kata-kata, mem-posting, dan memperbanyak. Mereka ini umumnya orang yang direkrut lewat bayaran antara Rp 2 juta sampai Rp 3 juta per bulan. Atau ratusan ribu rupiah per minggu.

Di atas mereka adalah koordinator. Tapi para front liner itu tidak tahu siapa nama koordinator mereka.

“Di atas koordinator itu belum langsung si politikus. Tapi tangan kanan politikus,” ujar Wijayanto. “Akhirnya kami tahu tagar apa arahnya ke politikus dari mana,” tambahnya.

Di luar itu ada yang disebut influencer. “Buzzer pasti tidak pakai nama asli. Kalau influencer menggunakan nama asli,” ujar Wijayanto.

Influencer itu mainnya halus. Buzzer-lah yang memanfaatkannya habis-habisan. Bisa jadi antara influencer dengan buzzer tidak ada hubungan sama sekali.

Misalnya ketika ramai KLB Partai Demokrat. “Pak Mahfud pernah bilang, Pak SBY kan juga melakukan hal yang sama ketika Muhaimin mengambil alih PKB dari Gus Dur,” ujar Wijayanto. “Lalu buzzer memanfaatkan ucapan itu dengan menciptakan #SbyKenaKarma,” katanya.

Tapi mengapa kualitas demokrasi menurun?

Uh. Terlalu berat untuk terus dibaca hari ini. Besok saja. Lebih enak nonton dulu siaran langsung akad nikahnya Lesti. Atau perceraiannya Luna Maya.(rmol)