Kami ikut kasak-kusuk di Gedung PP Muhammadiyah, Masjid Al Azhar dan DDII yang menjadi poros gerakan Mas Amien Rais dan kelompok Islam. Kami juga ada di Gedung LBH Jakarta yang menjadi markas kelompok Pro-Demokrasi. Kami pun ikut dalam pertemuan Makostrad yang diisukan sebagai awal mula perencanaan kerusuhan namun tak terbukti. Bahkan tim kami standby di jalan Cendana dan jalan Soewiryo ketika Pak Harto mengambil keputusan paling dramatis: berhenti dari kursi kepresidenan.
Pencabutan berita gawat terakhir di masa Orde Baru adalah pencabutan berita konferensi pers pukul 21.30 yang digelar Kapuspen TNI, Mayjen Wahab Mokodongan, pada 16 Mei 1998. Konferensi pers yang simpang siur tentang siapa inisiator dan penyusun teksnya itu berisi dukungan Mabes ABRI atas pernyataan PB NU, yang meminta Soeharto mundur. Statement itu memunculkan tudingan bahwa beberapa Jenderal di Mabes ABRI telah berupaya mengkudeta Presiden. Maka, pergerakan pasukan pun terjadi, dan beberapa jenderal buru-buru harus mengungsi di Mabes ABRI Merdeka Barat karena diisukan akan ditangkap.
Untuk meredakan situasi, selain Wiranto dan beberapa jenderal lainnya harus menjelaskan duduk masalah tentang konferensi pers itu kepada Soeharto, pada dini hari itu beberapa orang staf Pusat Penerangan ABRI menelpon dan kemudian mendatangi kantor-kantor media satu-satu untuk memerintahkan pencabutan berita konferensi yang janggal itu. Banyak berita di berbagai media mainstream berhasil dicegat dan tidak dimuat, namun ada pula yang lolos karena sudah dicetak dan lewat deadline.
Pasca reformasi, saat BJ Habibie menjadi Presiden, adalah masa pers yang paling terbuka. Semua informasi bisa ditulis. Bahkan bocoran rekaman Habibie dengan Jaksa Agung Andi M Ghalib bisa dibelejeti tanpa tedeng aling-aling di media massa tanpa menyebabkan breidel, kriminalisasi, apalagi cuma pencabutan dan embargo berita. Tulisan saya, Laporan Utama Forum Keadilan tentang Kerusuhan Ambon yang detil menyebutkan penyebab konflik dengan judul “Mau Ke Mana Wiranto?” hanya ditanggapi dengan kemarahan Sang Panglima TNI dengan menelpon Bang Karni, tapi tak berujung tekanan untuk memuat versi resmi TNI, intimidasi ataupun kriminalisasi.
Di masa Presiden Abdurrahman Wahid, pers juga sangat leluasa memberitakan perilaku Gus Presiden. Keterlibatan orang-orang di sekitar Gus Presiden sebagai pembisik dan sumber proyek diungkap dengan terbuka, sementara skandal Bulog Gate yang melibatkan orang dekat Presiden pun diungkap tanpa berdampak kriminalisasi. Bahkan Istana seolah tak lagi sangar dan tak juga sakral bagi jurnalis. Wartawan bisa masuk Istana hanya dengan sandal jepit, kaos dan celana jeans.
Ketika Megawati Soekarnoputri menggantikan Gus Dur menjadi Presiden, wartawan juga masih bisa mengritik langkah politik dan kebijakan Mbak Presiden dengan aman. Saat itu saya sudah di majalah Tempo, yang sering dijuluki Mbak Mega sebagai media orang-orang PSI. Ssstt… jangan salah, PSI yang dimaksud Mbak Mega adalah Partai Sosialis Indonesia, partai kader yang pernah dibubarkan Presiden Soekarno di tahun 1960, bersama Partai Masyumi dan Partai Murba, bukan partai yang itu. Di Tempo, kami berkali-kali mengritik kebijakan Mbak Mega, seperti imbal beli beras ketan dengan pesawat Sukhoi, dan sebagainya, tapi tak sampai membuat Mbak Mega murka, meminta klarifikasi dan permintaan maaf, ataupun melaporkan kami ke polisi.