Eramuslim.com – “Dua puluh satu tahun pasca runtuhnya Orde Baru, tekanan terhadap pers kembali terjadi. Padahal, pangkal penyebabnya hanya soal sepele.”
Lima tahun terakhir Orde Baru, ketika saya masih menjadi reporter dan kemudian menjadi redaktur muda, saya dan kawan-kawan di majalah Forum Keadilan, biasa menulis berita penting yang berkaitan dengan pribadi dan kebijakan Presiden Soeharto secara “melipir”, halus, dan tidak tembak langsung. Langkah “melipir” seperti itu, dapat dimaklumi, karena memberitakan kondisi kesehatan Kepala Negara, termasuk hal yang tabu, sementara menulis tentang kebijakan Presiden dengan nada yang kritis, adalah suatu tindakan yang menyerempet berbahaya.
Saya bergabung dengan Forum Keadilan setelah Majalah Hukum dan Demokrasi itu lolos dari lubang jarum Breidel 1994. Padahal, saat itu Forum Keadilan-lah yang sebenarnya sudah dua kali disemprit Departemen Penerangan gara-gara berbagai sengatan tulisannya yang tajam dan berani. Majalah Tempo belakangan ikut-ikutan galak, gara-gara oplahnya nyaris dibalap Forum Keadilan, adiknya sendiri. Tempo lalu menurunkan laporan pembelian kapal perang bekas dari Jerman Timur yang eksklusif. Tapi, gara-gara dianggap merongrong kebijakan Menteri Negara Riset dan Teknologi, BJ Habibie yang dibackup penuh oleh Presiden Soeharto, Tempo dibreidel. Begitu pula dua media lainnya, Detik dan Editor.
Pasca Breidel 1994, Forum Keadilan dan semua media lain yang lolos, mencoba menyesuaikan diri. Kami faham, bahwa Lembaga Kepresidenan adalah lembaga yang “wingit” sehingga kami segan mencolek, apalagi menyinggung kebijakannya dengan tajam. Misalnya, kami memilih judul “Alhamdulillah, Pak Harto Sehat Kembali…” ketika menulis tentang sakitnya Pak Harto. Jika terpaksa mengritisi kebijakan pemerintah, kami harus menulisnya dengan hati-hati, melipir, dan harus bisa menyebutkan oknum pejabat rendahan yang bisa dijadikan kambing hitam dalam persoalan itu.