Oleh: Sapto Waluyo (Direktur Center for Indonesian Reform)
Isu terorisme kini menjadi bola panas dan secara liar menyerempet berbagai kelompok sosial-politik. Dan, ketika bom meledak di dua hotel prestisius, J.W. Marriott dan Ritz Carlton, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menengarai adanya kelompok yang tidak puas dengan hasil pemilihan presiden. Mereka yang bermaksud mengepung gedung KPU saat rekapitulasi suara, menggagalkan pelantikan presiden baru, dan menjadikan Indonesia seperti Iran yang rusuh pasca pemilu.
Dengan mimik serius, SBY memperlihatkan foto yang menggambarkan dirinya sedang menjadi sasaran latihan tembak para teroris. Kemudian, Kepala Polri menjelaskan bahwa latihan itu dilakukan di daerah Kalimantan Timur dan pelakunya sudah tertangkap dua bulan sebelum peledakan di Marriott-Ritz Carlton. Polisi juga mengungkap jaringan teroris di Jatiasih, Bekasi yang bermaksud melakukan penyerangan di rumah kediaman SBY di Cikeas, tepat pada hari kemerdekaan RI.
Karuan saja, sinyalemen itu mengundang reaksi dari lawan politik SBY, Megawati Soekarnoputeri dan Jusuf Kalla, yang menegaskan partai politik yang komitmen dalam proses demokrasi tak akan pernah menempuh jalan kekerasan. Pemerintah diminta fokus untuk membongkar sumber terorisme, jangan menyinggung lawan politik yang bersikap kritis. Kandidat wakil presiden dari kubu Mega, yakni Prabowo Subianto, juga bereaksi tegas, karena tak bisa menerima istilah “drakula politik” yang pernah melakukan penculikan dan kekerasan politik di masa lalu.
Dalam waktu sekejap isu persaingan politik di balik aksi teror mengendap. Bahkan, sekarang justru terlihat kedekatan petinggi Partai Demokrat dengan PDI Perjuangan untuk menggolkan kursi Ketua MPR yang diperebutkan banyak pihak. Lebih jauh lagi, beberapa tokoh Partai Golkar yang dipelopori Aburizal Bakrie terlihat mendukung kepemimpinan SBY-Boediono dan berharap dapat mengisi kursi kabinet lima tahun mendatang, dengan resiko meninggalkan Kalla di tengah jalan. Jadi, ancaman teror terhadap SBY itu serius atau spekulasi saja?
Selanjutnya, yang terjadi adaslah Isu segera bergeser kepada kelompok Islam, antara lain, melalui penyergapan Detasemen Khusus 88 di Temanggung, Jawa Tengah. Sebuah rumah milik Muhjahri yang sudah sepuh dikepung 600 ratus polisi bersenjata lengkap. Setelah operasi yang menegangkan, dan berlansung selama 17 jam itu, akhirnya tertembak seorang tersangka teroris yang semula diduga Noordin M. Top, tapi tiga hari kemudian diakui polisi sebagai Ibrohim.
Muhjahri adalah pensiunan pegawai Departemen Agama yang menjadi guru bantu SMA Muhammdiyah Kedu, karena itu Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin turun tangan menugaskan belasan pengacara Muhammadiyah untuk melindungi hak Muhjahri. Bukan kebetulan kiranya, dalam pilpres Din dan Muhammadiyah mendukung JK-Wiranto, walau PAN berkoalisi dengan SBY-Boediono.
Din memang bersikap kritis terhadap peristiwa peledakan Marriott-Ritz Carlton, karena kedua hotel itu memiliki prosedur pengamanan berstandar internasional, mengapa bisa kecolongan? Di sana juga bermalam banyak warga asing, termasuk petugas intelijen, konon CIA, kok tidak ada yang memberi peringatan dini akan adanya ancaman? Setelah peristiwa peledakan terlihat jelas desakan untuk mengawasi kelompok Islam, membatasi aktivitas dakwah, dan mencurigai sejumlah pesantren yang diduga sebagai sarang pembiakan teroris.
Gejala semacam itu jelas kontra-produktif untuk membongkar akar terorisme yang sebenarnya. Mungkin bisa ditelusuri radikalisme keagamaan. Namun bukan hanya kelompok Muslim yang menyimpan potensi kekerasan. Dalam kerusuhan Maluku dan Poso, kelompok Kristen juga mengenal adanya Geng Coker dan Legiun Kristus yang bersikap ekstrem. Dalam kasus Aceh dan Papua, ada kelompok separatis yang menempuh perlawanan bersenjata. Bahkan, di Pulau Bali yang damai juga ada kelompok Hindu radikal yang menuntut wilayah merdeka, jika situasi nasional tidak cocok dengan kepentingannya.
Kini isu terorisme tampaknya bergeser ke arah partai Islam, wa bil khusus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang menempati ranking keempat dalam pemilihan umum lalu. Pada hari pertama setelah peledakan Marriott-Ritz Carlton, segera terdengar tuduhan terhadap kelompok Wahabi atau Salafi. Tudingan itu tak berasal dari aparat polisi, tapi dari kelompok masyarakat (Gerakan Umat Islam Indonesia) yang mengklaim memiliki daftar anggota teroris kelompok Noordin M. Top. Sebelumnya marak isu yang disebar secara sistematis lewat buku “Ilusi Negara Islam”, bahwa paham Wahabi radikal telah mempengaruhi organisasi dan partai Islam tertentu. Termasuk tudingan dari mantan Kepala BIN AM.Hendropriyono.
Tatkala dua orang pembom bunuh diri diketahui identitasnya, Dani Dwi Permana dan Nana Ikhwan Maulana, terbetik kabar bahwa perekrut teroris berasal dari kelompok Islam (Jawa Pos, 20 Agustus 2009). Secara khusus, Dani dikenal sebagai anak rajin dan siswa yang aktif dalam kegiatan rohani Islam di sekolahnya. Aktivitas pembinaan remaja Muslim di masjid dan sekolah selama ini memang menjadi program andalan organisasi dan partai Islam. Tujuan sesungguhnya bukan menyulut radikalisme. Namun membangun kesadaran dan ketahanan moral, serta mencegah penyakit sosial seperti penyalahgunaan narkotika dan tawuran massal.
Tujuan positif seperti itu tenggelam di tengah histeria massal akan bahaya terorisme. Aparat seakan membiarkan ekspos media yang over-dosis seputar isu terorisme, bahkan aparat sendiri terlihat over-acting seperti dalam kasus penyergapan di Temanggung, Jawa Tengah.
Seorang tersangka teroris dikepung oleh ratusan polisi bersenjata lengkap selama 17 jam. Seolah-olah tak ada suatu tindakan cepat yang dapat diambil untuk melumpuhkan tersangka yang konon hanya bersenjatakan sebuah pistol. Dalam operasi yang sangat represif itu ternyata buron utama, Noordin Top, pun lolos. Apa artinya pengerahan pasukan yang berlebihan, bila target utama tak tercapai? Evaluasi terhadap tindakan aparat ini tak pernah dilakukan. Sehingga persoalan terorisme berlanjut sampai sekarang.
Aparat kini menetapkan empat orang tersangka sebagai buron, dua di antaranya bersaudara: Syaifuddin Zuhri dan Muhammad Syahrir. Syaifuddin dan Syahrir ternyata bersaudara dengan Sucihani (isteri Ibrohim), dan lebih mengejutkan lagi, bersaudara dengan anggota DPRD dari Fraksi PKS Kabupaten Tangerang, Anugrah. Maka, terbangun anggapan publik bahwa organisasi dan partai Islam memang sengaja membiarkan gejala terorisme. Karena mereka sendiri menyetujui atau ada yang terlibat aksi kekerasan. Anggapan itu dibantah PKS dalam jumpa pers (24/8), tapi persepsi publik tak mudah untuk digeser. Apalagi mayoritas media massa tampak alergi dengan kebangkitan kekuatan politik Islam.
Isu terorisme merebak, menjelang penetapan SBY sebagai pemenang pemilihan presiden oleh KPU. Isu itu lalu bergeser menyudutkan organisasi dan partai Islam, saat SBY sedang mempersiapkan kabinet baru yang akan membantunya untuk periode 2009-2014. Masyarakat jadi lupa pada fokus utama kejadian, yakni peledakan terjadi di dua hotel milik warga asing dan korbannya yang tewas juga sebagian CEO dan pebisnis multinasional. Di antara korban tewas adalah: Timothy Mackey (CEO PT Holcim Indonesia), Nathan Verity (profesional yang bergerak di bisnis sumber daya manusia, warga negara Australia), dan Craig Senger (pejabat perdagangan dari Kedubes Australia). Mereka sudah pasti tidak mendapat peringatan akan adanya ancaman. Beda dengan warga Amerika yang menginap di hotel saat itu dan selamat.
Anehnya, aparat tidak mengusut motif kelompok yang membenci hegemoni Amerika Serikat dan kepentingan asing di Indonesia. Tiba-tiba isu digeser menjadi ancaman terhadap SBY sebagai kepala pemerintahan. Bahkan, kemungkinan adanya ancaman terhadap Presiden Barack Obama yang akan berkunjung ke Jakarta, bulan November nanti, ditepis keras oleh Kepala Polri. Bagaimana polisi bisa begitu yakin bahwa kelompok teroris tidak akan berani menghantam target asing? Padahal di negerinya sendiri Obama juga sudah sering menjadi target pembunuhan. Kita lihat saja nanti, apakah Obama akhirnya jadi datang ke Indoneia dan bagaimana pengawalan pasukannya? Siapa tahu lebih ketat dari pengawalan George Bush, ketika mampir ke Bali hanya beberapa jam saja.
Ujian sebenarnya kini sedang dihadapi PKS sebagai partai Islam ‘terbesar’ berdasarkan popular vote di Indonesia. Dengan bergabung dalam koalisi pemerintahan, PKS berharap mendapat perlindungan politik (mindlallah siyasiyah) yang kuat bagi aktivitas dakwah dan pembinaan umat. Namun, kondisi terkini justru mengancam citra PKS sebagai partai yang menyerukan jalan damai dan prinsip moderat, serta amat menganggu ketenangan kader/konstituen PKS di akar rumput, serta umat Islam secara keseluruhan.
Apakah SBY mengetahui dan mengendalikan seluruh ketegangan yang terjadi di tengah masyarakat, ataukah kepolisian, khususnya Densus 88 bergerak sendiri dengan agenda yang misterius? Sejak berdiri lima tahun lalu banyak penyimpangan yang dilakukan Densus 88 dalam operasi pengintaian, penangkapan dan penyergapan kepada tersangka teroris; namun tak satupun lembaga pengawas (DPR atau Komisi Kepolisian) yang merasa perlu meminta laporan akuntabilitas Densus.
Salah satu contoh kinerja Densus yang harus disorot, misalnya, penetapan status buron kepada tersangka teroris. Saat ini ada empat buronan baru, disamping Noordin Top, Dulmatin dan Umar Patek yang belum ketahuan rimbanya. Lalu, bagaimana dengan nasib Baridin (yang diprofilkan sebagai mertua Noordin) dan Tatang Lusianto (anak Muhjahri) yang belum jelas kesalahan mereka?
Densus sangat potensial melanggar hak asasi tersangka, karena tuduhan yang berkembang di masyarakat dan diekspos besar-besaran oleh media massa belum tentu sesuai dengan perbuatan mereka sebenarnya. Densus lebih suka dengan trial by the press ketimbang pengadilan yang jujur dan obyektif. Padahal, seorang pakar terorisme dari Israel sekalipun, Boaz Ganor (2005), menekankan proses peradilan yang imparsial dan akuntabel akan mencegah aksi teror di masa datang. Sebaliknya, perlakuan tak adil dan sikap over-acting aparat akan menumbuhkan semangat balas dendam dari kelompok teroris.
Ambil contoh lain, Ibrohim, pada mulanya diduga sebagai pelaku bom Marriott-Ritz Carlton. Tapi, saat kejadian (17/7) Ibrohim dinyatakan “menghilang” entah ke mana, meskipun ada kabar sebenarnya sudah tertangkap (Majalah Tempo, 16 Agustus 2009). Tiba-tiba polisi menyatakan Ibrohim tewas dalam penyergapan di Temanggung, “menggantikan” jasad Noordin Top yang ramai diperbincangkan media. Bagaimana mungkin Ibrohim “bebas berkeliaran” dari Jakarta menuju Temanggung tanpa ketahuan polisi, dan mengapa harus ditembak mati, jika perannya memang dominan?
Padahal, jika ditembak bius atau dilontarkan gas pembius, sangat mungkin dilakukan karena Densus telah dilatih dengan peralatan canggih. Setelah Ibrohim tewas, polisi baru menyatakan dialah perencana, pensurvei lokasi, pembawa bom dan pelakunya ke dalam hotel. Bahkan, Ibrohim dinyatakan pula sebagai “calon pengantin” (suicide bomber) di rumah kediaman SBY. Polisi tak perlu membuktikan tuduhan itu karena semua fakta telah dibawa mati Ibrohim tanpa sempat konfirmasi/konfrontasi.
Kejanggalan lain terlihat dari kematian Air Setiawan dan Eko Joko Sarjono di Jatiasih. Lagi-lagi, bila kedua tersangka ini dianggap memiliki peran penting menyembunyikan Noordin Top dan mempersiapkan serangan bom berikutnya ke rumah pribadi SBY, maka seharusnya polisi tidak menembak mati mereka.
Dikabarkan bahwa Air dan Eko melakukan perlawanan dengan melemparkan bom, tapi kepada publik tidak diperlihatkan bukti kongkrit adanya perlawanan. Karena penyergapan di Jatiasih berlangsung tertutup, amat berbeda dengan pengepungan di Temanggung yang diekspos media. Publik hanya tahu setelah tersangka terbunuh dan dari lokasi TKP dikeluarkan 500 kilogram bahan peledak.
Ada saksi yang melihat bahwa Air dan Eko masih berada di Solo dan shalat Jum’at berjamaah pada (7/8), tapi mengapa malamnya sudah berada di Bekasi dengan mobil penuh bahan peledak? Jika polisi menangkap mereka di Solo, maka tidak perlu terjadi tembakan satu kalipun. Apa lagi, banyak aparat berkumpul di Temanggung, tak jauh dari Solo, bila perlu bantuan.
Berbagai pertanyaan di seputar penanganan kasus terorisme itu perlu direspon oleh aparat polisi dengan tuntas. Kita menantikan pemberkasan terhadap tersangka yang sudah ditangkap hidup-hidup, serta proses peradilannya nanti. Dari sanalah kita akan mendapat gambaran yang lebih lengkap tentang perkembangan masalah, pola aksi terror, dan efektivitas kerja aparat dalam menangkal teror.
Selain menangkap buron utama Noordin Top, polisi berkewajiban untuk meminta ekstradisi Agus Dwikarna yang ditahan pemerintah Filipina dan Hambali yang ditahan CIA di penjara Guantanamo. Dari ketiga tokoh ini, jika masih terus hidup dan memberi kesaksian, kita ketahui duduk perkara terorisme yang menghantui Indonesia.
Sebagai partai koalisi pemerintah, partai-partai Islam (termasuk PKS) berhak untuk bertanya: bagaimana kebijakan kontra-terorisme SBY secara komprehensif sebenarnya? Benarkah kebijakan yang dilaksanakan polisi dan Densus 88 itu diarahkan hanya untuk menyudutkan kelompok Islam?
Potensi terorisme itu ada di semua kelompok masyarakat, termasuk oknum aparat intelijen dan keamanan, yang memiliki akses terhadap senjata dan bahan peledak, serta kemampuan penggalangan atas kelompok radikal. Kelompok teroris yang memiliki ideologi kuat serta kemampuan teknis sekalipun, tak bisa meledakkan bom tanpa akses memadai. PKS sekarang mendapat “payung politik” dari pemerintah yang berkuasa, tapi kepentingan umat yang lebih luas harus tetap diperjuangkan.
Suatu hari, jika rakyat memberi amanat, partai Islam mungkin memimpin negara dan harus siap menjadi “payung” (pengayom dan pelindung) semua warga bangsa tanpa diskriminasi. Jangan biarkan penyimpangan yang dilakukan aparat polisi dan intelijen yang mungkin bekerja untuk kepentingan kekuasaan jangka pendek saat ini, dengan mengorbankan kebebasan warga dan keamanan nasional secara keseluruhan.
Sikap pasif dan pembiaran justru akan membuat penyimpangan kekuasaan lebih dahsyat. Saatnya organisasi massa dan partai politik Islam bergandeng-tangan dengan seluruh elemen bangsa, merumuskan ancaman nasional yang paling nyata dan menangkalnya bersama-sama.