Keempat, terjadi public distrust terhadap para politisi. Masyarakat akan sampai pada satu kesimpulan, semua politisi sama saja. Pada akhirnya fokus mereka hanya bagi-bagi kekuasaan. Tidak ada idealisme. Yang ada hanya pragmatisme.
Para pemilih akan sampai pada satu kesimpulan yang sama seperti olok-olok penulis olahraga AS sangat terkenal, Art Spander yang dikutip pada awal tulisan : Hal terbesar dari demokrasi adalah memberi kesempatan Kepada setiap pemilih untuk melakukan sesuatu yang bodoh!
Mereka saling gontok-gontokan, caci maki di medsos, hubungan pertemanan dan persaudaraan menjadi putus, masyarakat terbelah karena perbedaan pilihan, eh…. para politisi yang mereka puja malah kompromi bagi-bagi kekuasaan.
Kelima, ini yang paling berbahaya, orang tidak lagi percaya dengan demokrasi. Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia selama ini dipuji dunia. Islam dan demokrasi bisa berpadu dengan baik.
Ironisnya justru di tangan penguasa muslim sekuler, demokrasi Indonesia mati muda. Layu sebelum berkembang.
Beberapa hal di atas perlu dipertimbangkan masak-masak oleh Jokowi, orang-orang di sekitarnya, dan tentu saja oleh Prabowo sebelum melangkah lebih jauh.
Silakan pikirkan berkali-kali. Sebuah pemerintahan tanpa oposisi ( government without opposition), atau pemerintahan dengan oposisi yang sangat lemah. Apa yang akan terjadi?
Ini bukan soal suka tidak suka kepada Jokowi atau Prabowo. Bukan soal 01 atau 02. Namun ini menyangkut masa depan demokrasi Indonesia. Masa depan Indonesia! [kk/hersubeno-arief.com]