Pada kasus PPP dan Golkar, Jokowi sukses menerapkan skema pengendalian. Para Ketua umum partai adalah “orang-orang Jokowi.”
Golkar semula dipimpin oleh Setya Novanto dan kemudian berganti ke Airlangga Hartarto, seorang menteri yang nota bene adalah pembantunya. PPP dipimpin oleh Romahurmuziy dan kemudian beralih ke Soharso Monoarfa. Tokoh yang terakhir juga “orang Jokowi.” Dia anggota Wantimpres.
Seorang kader Golkar secara satir menggambarkan dirinya seperti boneka Rusia (Matryoshka). Boneka dalam boneka.
Setya Novanto dan kemudian Airlangga Hartarto adalah “boneka” Jokowi. Mereka hanya CEO yang menjalankan perusahaan. Sementara dia sebagai kader Golkar adalah boneka Novanto dan Airlangga.
PAN karena adanya faktor Ketua Dewan Kehormatan Amien Rais terhindar dari posisi pengendalian langsung oleh Jokowi. Posisinya lebih tepat disebut sebagai merger politik dengan saham minoritas.
Posisi Prabowo dan Gerindra
Bagaimana posisi Prabowo dan Gerindra bila mereka bersedia bergabung dengan koalisi Jokowi? Akuisisi, merger, atau merger dengan saham minoritas?
Melihat hasil pilpres lalu, adanya tuntutan kecurangan, dan pembelahan masyarakat yang begitu dalam, kemungkinan terbesar merger akan menjadi pilihan yang terbaik.
Prabowo dan Gerindra akan menjadi partner dengan posisi tawar yang cukup kuat.
Namun sebelum menerima tawaran dan membayangkan bagi-bagi kekuasaan dan pos kementerian yang cukup menggiurkan, ada baiknya dipertimbangkan beberapa hal berikut:
Pertama, bergabungnya Prabowo dan Gerindra akan mematikan fungsi utama oposisi untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah. Prinsip Checks and ballances akan mati.
Praktis yang akan berada di luar pemerintahan hanya PKS. Demokrat sudah jauh-jauh hari menunjukkan sikap menyerahkan diri ke Jokowi ditukar dengan setidaknya satu kursi menteri untuk Sang Putra Mahkota Agus Harimurti Yudhoyono.
Bergabungnya Gerindra akan membuat PAN punya justifikasi secara moral dan politik untuk ikut bergabung. Hanya tinggal menunggu waktu saja.
Kedua, tanpa kontrol oposisi pemerintah akan menjadi tirani. Pemerintahan Jokowi akan mengontrol sepenuhnya tiga pilar kekuasaan dalam negara, yakni : Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Pers sebagai pilar ke-empat dalam demokrasi sudah lebih dulu berhasil dilumpuhkan dan ditundukkan pemerintah.
Ketiga, dengan menggenggam sepenuhnya ke-empat pilar demokrasi, sesungguhnya demokrasi di Indonesia sudah mati. Kita akan kembali ke era diktator seperti pada Era Orde Baru. Dengan catatan pada Era Orde Baru pers Indonesia relatif lebih berdaulat dan terus melakukan perlawanan.
Pada masa Orde Baru kendati terjadi kontrol yang sangat kuat terhadap media massa, namun media dikelola dan dimiliki oleh insan-insan media yang mempunyai idealisme tinggi. Mereka adalah orang-orag merdeka.
Berbeda dengan saat ini, media dimiliki oleh tiga kelompok. (1) Konglomerasi yang masuk ke bisnis media, (2) Konglomerasi sekaligus pemimpin politik, (3) Insan media yang telah berubah menjadi konglomerasi. Wartawan hanya pekerja, bagian dari alat produksi.