Perjanjian-perjanjian seperti Giyanti, Perjanjian Salatiga, Perjanjian Jepara, Perjanjian Ponorogo, ordonansi kuli (disertai poenale sanctie) adalah contoh-contoh, yang dalam konteks sekarang esensinya kurang lebih sama dengan Amandemen UUD ‘45, UU Migas, hingga Omnibus Law yang penuh kepentingan asing & aseng dan merugikan wong cilik. Dalam konteks Omnibus Law RUU ini sangat menindas hak-hak buruh/pekerja.
VOC sendiri terbiasa dengan perbudakan. Rakyat dari pulau-pulau Nusantara yang umumnya miskin direkrut untuk dijadikan budak. Bahkan beberapa kerajaan di Nusantara hingga akhir abad 19 menggantungkan pendapatan dari mengekspor budak.
Ordonansi kuli esensinya adalah peraturan tentang perburuhan, mirip Omnibus Law, yang disamakan dengan budak. Poenale Sanctie adalah hukuman fisik yang sangat kejam terhadap para buruh, misalnya terhadap para buruh perkebunan (kuli kontrak) di tanah Deli atau Senembah, Sumatera Timur, dan beberapa wilayah lain.
VOC rezim yang rapuh, yang hancur karena korupsi, sehingga dicela Vergaan Onder Corruptie, karena utang yang menumpuk, kalah teknologi dengan kapal Inggris, dan karena adanya traktat pembagian wilayah dagang dengan Inggris.
Jumlah tentara VOC sebenarnya tidak terlalu besar dan tidak terlalu canggih. Waktu agresi pertama di Aceh, 1873, belum dua minggu Jenderal Kohler yang mimpin penyerbuan mati ditembak pejuang Aceh.
Alutsista Belanda pada masa itu juga tidak mendominasi, bahkan beberapa kerajaan di Nusantara saat itu sudah memiliki semacam hubungan kerjasama pertahanan, seperti halnya Kerajaan Aceh dengan Turki.
Banyak kerajaan yang jatuh belakangan. Bali baru bisa ditaklukkan pada 1910, Ternate 1923, Ruteng 1928, Sulawesi Selatan 1905, Toraja 1910, dan para pejuang Aceh berperang selama sekitar 70 tahun lebih melawan Belanda dengan gagah berani.
Namun elit penguasa hari ini menyeret kita untuk kembali ke zaman VOC melalui Omnibus Law.
Kini betapa kian terasa kita hidup dalam nafas zaman yang sama, zaman VOC.(end)
(Penulis; Arief Gunawan, adalah wartawan senior)