Omicron Bergentayangan di Tengah Gonta-Ganti Kebijakan

Di dalam buku “Keserakahan Di Tengah Pandemi: Tinjauan Kritis Kepemimpinan Populis-Otoriter dan Oligarki di Indonesia”, penulis menarik kesimpulan bahwa ketidakpercayaan publik merupakan konsekuensi dari tidak tanggap dan lemahnya leadership presiden Jokowi merespon pandemi, yang bisa dilihat salah satunya dari tumpang-tindih dan gonta-ganti kebijakan yang membingungkan masyarakat.

Di banyak negara dengan pemimpin populis seperti Presiden AS Donald Trump, Presiden Brazil Bolsonaro, PM India Narendra Modi, dan Presiden Filipina Duterte, memiliki kecenderungan yang sama, yaitu memiliki optimis yang tidak berdasar science (misalnya terlalu dini menyatakan pandemi akan berakhir atau ekonomi akan bangkit), kepemimpinan yang ‘plin-plan’, dan tidak jujur pada angka-angka statistik.

Banyak ahli pandemiolog di Eropa dan AS menyatakan bahwa badai Omicron sedang terjadi di sana disebabkan oleh 3 hal, yaitu: capain vaksinasi di sekitar 70% atau kurang, efikasi vaksin yang turun saat menghadapi serangan varian Omicron, serta lemahnya mitigasi atau mengendurnya pelaksanaan protokol kesehatan.

Seharusnya ini menjadi perhatian besar pemerintah mengingat capaian vaksinasi kedua di Indonesia belum sebanyak di AS atau Eropa. Juga masih perlu dibuktikan efikasi vaksin Sinovac terhadap Omicron, yang mana paling banyak digunakan dalam vaksinasi di Indonesia.

Apakah capaian-capaian itu telah berhasil membentuk imunitas komunal di atas 70%?

Meskipun banyak ahli menyatakan varian Omicron tidak memberikan dampak separah varian Delta, bukan berarti pemerintah dapat meremehkannya, karena serendah apapun dampaknya pada kesehatan masyarakat tetap akan berdampak memperlambat pemulihan ekonomi.

Jangan terulang ketika di bulan Juli 2021 pemerintah bingung akan memperpanjang PPKM darurat atau tidak, justru yang terjadi rumah sakit collaps.

Begitu juga dengan akhir tahun ini, ketika pemerintah sibuk bergonta-ganti aturan dan kebijakan, virus Omicron justru sudah bergentayangan di sekitar kita. [FNN]