Nyawa Manusia di Indonesia Tak Berharga?

Sejumlah aktivis Hak Azasi Manusia (HAM) menyebut itu pelanggaran HAM baru. Pelanggaran HAM yang lama saja belum ada yang dituntaskan, kini sudah ada pelanggaran HAM baru. Kasus-kasus lama pelanggaran HAM dari tahun 1960-an, 1970-an, 1980-an, 1990-an, hingga 2000-an seperti kasus Munir sampai saat ini belum terungkap. Kini sudah ada pelanggaran-pelanggaran HAM baru lagi.

Sejauh ini sejumlah kematian warga negara episode pemerintahan Jokowi itu tak terungkap. Bahkan publik sampai saat ini masih bertanya-tanya tentang itu semua. Kini publik kembali dipertontonkan dengan kematian akibat penembakan terhadap enam anggota Laskar FPI.

Menggunakan perspektif sosiologi politik kewarganegaraan (sosiologi kewargnegaraan), akan membuka mata hati kita untuk menempatkan manusia sebagai subyek. Siapapun dia, dan dengan latar belakang apapun dia, bukan untuk ditempatkan semata sebagai obyek. Warga negara adalah subyek yang terpenting dari yang penting-penting dalam entitas negara.

Dalam terminologi sosiologi kewarganegaraan, manusia memiliki dua hak azasi, yaitu hak pasif dan hak aktif. Hak pasif merupakan hak yang diperoleh karena ia adalah manusia. Artinya semua manusia memiliki hak pasif tersebut, diantaranya hak untuk hidup.

Sementara hak aktif adalah hak-hak seseorang yang merupakan anggota dari kelompok dalam entitas negara. Tidak semua orang mampu untuk mengekspresikan hak ini. Misalnya, hak untuk berpendapat dan hak berserikat. Juga hak untuk berorganisaai.

Dengan demikian, setiap manusia sesungguhnya memiliki jaminan atas semua hak itu sebagai hak asasi warga negara. Tentu itu berlaku untuk siapapun, termasuk didalamnya adalah anggota dan Lakasr FPI. Mereka memiliki hak hidup sekaligus hak berserikat berorganisasi.

Saya khawatir penembakan terhadap enam anggota Laskar FPI itu tidak menempatkan mereka sebagai subyek warga negara. Tetapi menempatkan mereka sebagai obyek konflik politik yang menyusup dalam cara berfikir operasi pengintaian yang dilakukan oleh negara.

Giorgio Agamben dalam bukunya  “Homo Sacer Sovereign Power and Bare Life” (Stanford University Press,1998) mengingatkan betapa pentingnya negara menempatkan warga negara sebagai subyek dengan seluruh hak azasinya. Bukan sekedar obyek administrasi, dimana negara boleh melakukan apapun terhadap warga negara.

Ketika negara menempatkan warga negara semata-mata sebagai obyek, maka apa yang disebut Giorgio Agamben (1998) sebagai proses  homo sacer bisa terjadi. Merasa menjadi manusia asing di negerinya sendiri bisa terjadi pada setiap warga negara.  Saya mencermati, jika ini semua terjadi pada banyak kasus maka pelan tapi pasti ke-Indonesiaan kita terancam bubar.

Cara kekuasaan negara merespon kritik, merespon oposisi dan menata keragaman dari masyarakat sipil (civil society) menjadi sangat menentukan keberadaan negara dimasa depan. Cara-cara yang represif dalam menempatkan warga negara sebagai obyek, harus segera diakhiri.