“No Viral, No Urus”

Kemudian, hingga awal 1900-an menuju ke era reformasi di pertengahan abad ke -20 dari tahun 1930-an hingga 1970-an, kepolisian Amerika masih tertutup. Pemolisian di Amerika menuju modern yang terbuka sejak 1970. Atau sekitar 51 tahun silam.

Maka, tidak ada salahnya pendidikan di Polri banyak mengadopsi pemolisian Amerika.

Misal: Restorative Justice. Penyelesaian masalah hukum (hanya ditindak pidana ringan) mempertemukan semua pihak yang berkepentingan. Bermusyawarah mencapai sepakat. Pelaku – korban – disaksikan polisi.

Jika antara pelaku dan korban berdamai, maka tidak ada lagi masalah hukum. Selesai begitu saja. Ini cara Amerika.

Dikutip dari laman United States Department of Justice, di Amerika polisi dibantu Community Relations Service (CRS) dari Departemen Kehakiman AS.

Problem yang diungkap Kapolri Jenderal Listyo itu, di Amerika dikumpulkan oleh CRS. Kemudian diuji kebenarannya. Dianalisis. Akhirnya diserahkan ke departemen polisi sana. Polisi memperbaiki diri.

Di Indonesia, lembaga semacam CRS diemban Kompolnas yang kini dipimpin Prof Mahfud Md.

Kompolnas belum sempat menyampaikan “No viral, no urus”. Belum sempat. Keburu diungkapkan Kapolri sendiri.

Walaupun, stigma “No viral, no urus” tak sepenuhnya benar. Ada juga kasus viral, tetap tak diurus. Banyak contohnya.

Antara lain, kasus pelecehan seks di Komisi Penyiaran Indonesia. Yang dikenal dengan “testis dicoreti spidol”. Sudah viral juga. Tapi hampir ganti tahun ini, belum diproses. Juga, belum dinyatakan ditutup.

Ini kritik baru lagi, buat Polri.[]

*) Penulis: Djono W Oesman, wartawan senior.